ilmu kalam

A.    Pendahuluan
Kata Jabariyah berasal dari kata Jabara yang berarti memaksa. Didalam Al-Mujid dijelaskan nama Jabariyah berasal dari kata Jabara yang berarti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu. Kalau dikatakan Allah memiliki sifat al jabbar(dalam bentuk mubalaghah), itu artinya Allah maha memaksa. Ungkapan Al-Insan Majbur (bentuk isim maf’ul) mempunyai arti manusia dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi jabariyah (dengan menambah ya nisbah), memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme). Lebih lanjut Asy-Syahratsan menegaskan bahwa paham Al-Jabar berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesngguhnya dan menyandarkan kepada Allah. Dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa inggris jabariyah disebut Fatalism atau Predestination, yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.
Sedangkan pengertian Qodariyah secara etimologi, berasal dari kata qadara yang bermakna kemampuan dan kekuatan, adapun secara terminologi istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinversi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran-aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya, Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.



B.    Pembahasan
1.  Jabbariyah
a.       Latar belakang kemunculannya
Golongan Jabbariyah adalah gerakan yang menentang aliran Qadariah. Adapun aliran ini disebut jabbariyah karena berpaham bahwa, “manusia dalam keadaan terpaksa”. Segala gerak-geriknya dan tingkah lakunya tidak timbul dari dirinya, tetapi atas ciptaan Tuhan. Manusia tidak memiliki kekuasaan, kemauan, dan ikhtiar, manusia keadaannya bagaikan kapuk yang diterbangkan angin. Jadi dalam hal ini perbuatan manusia itu adalah dalam keadaan terpaksa, Tuhanlah yang menentukan segala perbuatan manusia.[1]
            Adapun kalimat jabbariyah ini diambil dari akar kata “jabr” yang berarti “terpaksa”. Sedangkan kemunculan paham jabbriyah ini dapat dikatakan sebagai redaksi sosial yang menyeluruh terhadap keadaan dan suasana yang terjadi dalam masyarakat yang selalu berada dalam keadaan goncang. Maka salah satu penyelesaian yang bisa dicapai adalah melarikan diri dari kenyataan hidup dan keluar dari kesanggupan dan kemampuan manusiawidengan menyerah kepada nasib yang dibumbui dengan harapan-harapan yang menggunakan dasar ajaran agama yaitu dengan cara menyerah kepada kekuasaan Allah. [2]
            Mazhab ini muncul bersamaan dengan kehadiran Qadariah. Daerah kelahirannya pun berdekatan. Qadariah muncul di Irak, Jabbariyah diKhurasan. Paham jabbriyah pada mulanya dipelopori oleh Al- Ja’d Bin Dirham. Namun pada waktu itu belum begitu berkembang. Paham ini baru berkembang setelah diseberluaskan oleh Jahm Bin Shafwan.[3]
            Dalam sejarah teologi islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah dalam kalangan Murjiah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayah. Namun, dalam perkembangannya, paham Al-Jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Darrar. [4]
            Paham yang dibawa Jahm adalah lawan ekstrim dari paham yang dianjurkan Ma’bad Ghailan. Manusia, menurut Jahm, tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa, manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan, manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.[5] Paham yang disebarkan oleh Jahm bin Shafwan ini termasuk kepada paham yang radikal karena pahamnya yang keterlaluan, sehingga sampai itiqad bahwa kalau kita meninggalkan shlat atau berbuat kejahatan maka semuanya tidak apa-apa karena hal itu telah dijadikan Tuhan begitu juga jika mencuri, berzina, membunuh, itu tidak apa-apa karena yang menjadikan semuanya itu adalah Allah.[6]
            Jadi, mengenai kemunculan paham al-jabar ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Diantara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahara memberikan pengaruh besar kedalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam sahara yang anas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam. Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka kepada sikap fatalism. Sebenarnya benih-benih faham Al-jabar sudaj muncul jauh sebelum kedua tokoh diatas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut .[7]
a.       Suatu ketika Nabi menjumpai sahabtnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b.      Khalifah umar bin Khaththab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika diintrogasi, pencuriitu berkata, “Tuhan telah menentukan aku mencuri.” Mendenagr ucapan tersebut , umar marah sekali dan menggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan. Dan lain sebagainya.
Paparan diatas menjelaskan bahwa bibit faham al-jabar telah muncul sejak awal periode islam. Namun al-jabar sebagai suatu pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayah, yakni oleh kedua tokoh yang telah disebutkan diatas. Berkaitan dengan kemunculan aliran Jabariyah, ada yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit. Namun tanpa pengaruh asing itu, faham al-jabar akan muncul juga dikalangan umat islam. Didalam Al-Qur’an sendiri terdapat ayat-ayat yang dapat menimbulkan faham ini, misalnya : [8]
ما كانوا ليؤ منوا الأ ان يشا ء الله (الأنعام: ااا)
Artinya : “ mereka sebenarnya tidak percaya sekiranya Allah tidak menghendaki.”
والله خلقكم وماتعملون   ( الصا فات :96)
Artinya : “ Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.”
Ayat tersebut terkesan membawa seseorang pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah yang menyebabkan pola pikir jabariyah masih tetap ada dikalangan umat islam hingga kini walaupun anjuran nya telah tiada.[9]
b.      Doktrin –Doktrin Jabariyah
Para penganut mazhab ini ada yang ekstrem, ada pula yang bersikap moderat. Jahm bin shafwan termasuk orang yang ekstrem, sedangkan yang moderat antara lain adalah Husain bin Najjar, Dhirar bin Amru,  dan Hafaz al-Faridi yang mengambil jalan tengah antara Jabariyah dan Qadariah.[10]
Diantara doktrin jabariyah ekstrem adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemampuan sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena Qadha dan Qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Diantara pemuka Jabariyah ekstrem adalah berikut ini :[11]
·      Jahm bin Shofwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Ia berasal dari khurasan, bertempat tinggal dikhufah, ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator), ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Suraih , seorang mawali yang menantang pemerintahan bani Umayyah dikhurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama. Pendapat jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut :
Ø  Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
Ø  Surga  dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
Ø  Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati.
Ø  Kalam Tuhan adalah makhluk.  Allah Mahasuci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata diakhirat kelak.
·      Ja’d bin Dirham
Al- Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal didamaskus. Ia dibesarkan didalam lingkungan kristen yang senang membicarakan teologi. Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby menjelaskan sebagai berikut :
Ø Al-Qur’an itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak akan dapat disifatkan kepada Allah.
Ø Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
Ø Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Sedangkan paham yang moderat dikemukan oleh :[12]
·       Al- Husain Ibnu Najjar, ia berpendat bahwa, perbuatan-perbuatan manusia diciptakan Allah, baik perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk, dalam pada itu manusia mempunyai bagian untuk mewujudkan yaitu berupa tenaga yang diciptakan Allah, inilah yang disebut kasab. Kalamullah itu bila dibaca adalah sifat, dan jika ditulis adalah jisim. Allah itu berkehendak bagi dirinya dan mengetahui akan dirinya. Iman itu penegasan dari sikap pembenaran. Orang yang berbuat dosa besar bila mati sebelum bertaubat ia akan menerima azab neraka tetapi akan dikeluarkan kembali.
·       Dhirar Ibnu ‘Amru dan Hafas Al-Fardi, mengemukan pendapatnya, bahwa, perbuatan manusia itu diciptakan Allah secara hakikat dan manusia mengusahakanya secara hakikat juga menetapkan bahwa, manusia akan melihat Allah disurga dengan indranya.

2.  Qadariyah
a.    Latar belakang kemunculannya
Qadariyah bersal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang bermakna kemampuan dan kekuatan, adapun secara terminologi istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinversi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.[13] Aliran Qadariyah adalah suatu aliran dalam Islam yang pahamnya mirip dengan paham Mu’tazillah, sedangkan istilah Qadariyah artinya orang-orang berkata bahwa “kuasa sendiri”, golongan ini sebagai tambahan khusus dari golongan Mu’tazilah yang berlebihan. Golongan ini disebut juga golongan “ Tafwid” , yaitu pekerjaan yang dilakukan itu dianggapnya telah mendapat penyerahan Qudrat Iradat dari Allah untuk bertindak dan melakukan apa saja secara bebas dilingkungan manusia.[14]
Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa Qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun, sebutan tersebut telah melekat kaum Sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak. Menurut Ahmid Amin, sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk Hadist yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah. Hadist itu berbunyi :[15]
القد رية مجوس هذه الامةْ
Artinya :
          “ Kaum Qadariyah adalah majusinya umat ini.”
  Kapan Qadariyahmuncul dan siapa tokoh-tokohnya? Merupakan dua tema yang masih diperdebatkan. Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama sekali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghilan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri. Adapun Ghilan adalah seorang orator dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Usman bin Affan.[16]
Aliran Qadariyah dalam menafsirkan ayat-ayat Qur’an dan Hadist selalu didasarkan kepada kekuatan akal, bahkan sudah tersebut dalam sejarah bahwa salah satu keistimewaan mereka adalah cara mereka membentuk Mazhab nya, banyak mempergunakan akal dan lebih mengutamakan akal bukan mengutamakan Qur’an dan Hadist.[17]

b.    Doktrin-doktrin Qadariyah
Diantara paham-paham (doktrin-doktrin) dari aliran Qadariyah ini adalah : [18]
1)      Pekerjaaan manusia tidak ada sangkut pautnya dengan Allah dan tidak diketahui oleh Allah sebelumnya tetapi Allah mengetahui setelah diperbuat oleh manusia.
2)      Allah sekarang tidak bekerja lagi karena Qadrat-Nya telah diberikan kepada manusia dan Allah hanya melihat saja.
3)      Kalu manusia memakai Qadrat-Nya maka ia akan diberi pahala dan kalau tidak menurutn Qadrat-Nya pasti ia akan disiksa.
4)      Qadrat yang baik diciptakan dan dikehendaki Allah sedangkan Qadrat yang buruk maka orang itu sendirilah yang menciptakanya.
5)      Tuhan adalah maha adil, karena itu Tuhan memberi ancaman hukuman bagi orang ang berbuat salah dan menjanjikan akan memberikan pahalabagi orang yang berbuat baik dan kebajikan.
6)      Terhadap manusia Tuhan memberikan kebebasan menentukan nasibnya sendiri, bebas memilih hal-hal yang baik atau hal-hal yang buruk. Manusia diberi kebebasan memnentukan nasibnya sendiri, bebas memilih hal-hal yang baik atau hal-hal yang buruk. Manusia diberi kebebasan berbuat dan berkehendak (free will and free act). Dengan demikian manusia itu dapat dimintai pertanggung jawabnya.
7)      Iman adalah Ma’rifat kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengikrarkan dengan lisan. Seseorang tidak dianggap beriman jika mengerjakan sesuatu yang tidak dibenarkan oleh akaldan meninggalkan sesuatu yang dibenarkan akal. Dalam hal ini mereka sangat mengutamakan iman sedang amal ditempatkan kemudian.
8)      Al-Qur’an itu adalah makhluk yang diciptakan Allah. Dalam hal ini pendapatnya sama dengan kaum Mu’tazillah.
9)      Tuhan itu memiliki sifat-sifat tsubutiyah, sifat-sifat yang ada pada Allah adalah  zat-Nya sendiri, bukan sifat yang berdiri sendiri. Jika sifat-sifat itu sendiri berarti adanya keserupaan dan hal yang demikian itu berarti musyrik.
10)  Mengenai politik, kaum Qadariyah berpendapat bahwa siapa pun boleh menjadi Imam (kepala Negara)dengan syarat, orang itu harus berpegang kepada Al-qur’an dan Sunnah Rasul serta memperoleh persetujuan secara demokratis dari umat.
11)  Perbuatan manusia diciptakan manusia sendiri denga qadrat yang telah diberian Tuhan kepadanya sendiri, mereka lahir ke dunai dengan di bekali kekuasaan Tuhan, hal itu yang dilanggarka pada firman Allh SWT yaitu:
ان الله لايغير ما بقوم حتي يغيروا ما بانفمهم (الرعد 11)
“sesungguhnya Allahtidak meobah keadaan suatu kaum sehingga mereka merobah keadaaan yang ada pada diri mereka sendiri”   

C.  Kesimpulan
·         Golongan Jabbariyah adalah gerakan yang menentang aliran Qadariah. Adapun aliran ini disebut jabbariyah karena berpaham bahwa, “manusia dalam keadaan terpaksa”. Segala gerak-geriknya dan tingkah lakunya tidak timbul dari dirinya, tetapi atas ciptaan Tuhan. Manusia tidak memiliki kekuasaan, kemauan, dan ikhtiar, manusia keadaannya bagaikan kapuk yang diterbangkan angin. Jadi dalam hal ini perbuatan manusia itu adalah dalam keadaan terpaksa, Tuhanlah yang menentukan segala perbuatan manusia. Paham jabbriyah pada mulanya dipelopori oleh Al- Ja’d Bin Dirham. Namun pada waktu itu belum begitu berkembang. Paham ini baru berkembang setelah diseberluaskan oleh Jahm Bin Shafwan.
·         Qadariyah bersal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang bermakna kemampuan dan kekuatan, adapun secara terminologi istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinversi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.[19] Aliran Qadariyah adalah suatu aliran dalam Islam yang pahamnya mirip dengan paham Mu’tazillah, sedangkan istilah Qadariyah artinya orang-orang berkata bahwa “kuasa sendiri”, golongan ini sebagai tambahan khusus dari golongan Mu’tazilah yang berlebihan. Golongan ini disebut juga golongan “ Tafwid” , yaitu pekerjaan yang dilakukan itu dianggapnya telah mendapat penyerahan Qudrat Iradat dari Allah untuk bertindak dan melakukan apa saja secara bebas dilingkungan manusia.


DAFTAR PUSTAKA
Ø  Drs. Siwanto, ilmu kalam, Armico, Kurikulum Madrasah Aliyah, 1989.
Ø  Drs. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, Jakarta, PT RakaGrafindo Persada, 1996.
Ø  Dr. Abdul Rozak,Dr. Roshon anwar, Ilmu Kalam, Bandung, CV Pustaka Setia, 2011.
Ø  Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta, Universitas Indonesia, 2002.




[1] . Drs. Siwanto, ilmu kalam, Armico, Kurikulum Madrasah Aliyah, 1989, hal 75.
[2] . Ibid
[3] . Drs. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, Jakarta, PT RakaGrafindo Persada, 1996, hal 110
[4] . Dr. Abdul Rozak,Dr. Roshon anwar, Ilmu Kalam, Bandung, CV Pustaka Setia, 2011, hal 64.
[5]. Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta, Universitas Indonesia, 2002, hal 35.
[6].  Drs. Siwanto, ilmu kalam,......, hal 75.
[7]. Dr. Abdul Rozak,Dr. Roshon anwar, Ilmu Kalam,......, hal 64.
[8]. Ibid hal 65.
[9]. Ibid hal 66 
[10]. Drs. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, ....., hal 111
[11]. Dr. Abdul Rozak,Dr. Roshon anwar, Ilmu Kalam,......, hal 67-68
[12].  Drs. Siwanto, ilmu kalam,.......hal 77
[13].  Dr. Abdul Rozak,Dr. Roshon anwar, Ilmu Kalam,......, hal 70.
[14].  Drs. Siwanto, ilmu kalam,.......hal 69.
[15].  Dr. Abdul Rozak,Dr. Roshon anwar, Ilmu Kalam,......, hal 70.
[16].  Dr. Abdul Rozak,Dr. Roshon anwar, Ilmu Kalam,......, hal 71.
[17].  Drs. Siwanto, ilmu kalam,.......hal 70.
[18].  Drs. Siwanto, ilmu kalam,.......hal 72
[19].  Dr. Abdul Rozak,Dr. Roshon anwar, Ilmu Kalam,......, hal 70.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

akhlak tasawuf

PEMBAHASAN
            Dengan tasawuf , yang artinya adalah pembersihan batin, jelaslah oleh kita sekarang dari mana dasar tempatnya dan kemana tujuannya. Tujuannya dari bermula telah jelas yaitu mendekatkan diri kepada Khalik pencipta, ada setengahnya yang sampai berhubungan dan setengahnya yang mencapai perasaan bahwa dia bersatu dengan Tuhan (Wahdatul Wujud). Jalan-jalan yang dilaluinya ialah cinta asyik, rindu dendam, menyelidiki kelemahan diri sendiri dan kebesaran Tuhan. Yang berjalan didalam tasawuf ialah perasaan dan fikiran adalah nomor dua.
1.     a.      Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Kalam
Secara harfiah, ilmu kalam berarti ilmu tentang kata-kata atau pembicaraan. Jika yang dimaksud adalah kalam adalah sabda Tuhan, maka yang di maksud adalah kalam Tuhan yang ada didalam al-Qur’an. Hal ini juga terjadi pertentangan, dari mereka ada yang mengatakan bahwa kalam Tuhan itu baru, makhluk atau diciptakan Tuhan, pendapat ini dianut oleh aliran Mu’tazilah. Sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa kalam Tuhan itu qadim. Pendapat inilah yang dianut oleh gologan Asy’ariyah dan lainnya.[3]
Ilmu kalam disebut juga ilmu tauhid karena ilmu ini membahas tentang cara-cara mengesakan Tuhan, sebagai salah satu sifat yang terpenting diantara sifat-sifatNya yang lain. Hubungan ilmu Akhlak dengan ilmu Tauhid dapat dilihat melalui empat analisis, diantaranya:
1.     Dilihat dari segi objek pembahasannya, bahwa ilmu tauhid membahas masalah Tuhan baik dari segi zat, sifat dan perbuatan-Nya, dengan demikian ilmu tauhid akan mengarahkan perbuatan manusia menjadi ikhlas, dan keikhlasan itu sendiri adalah merupakan salah satu diantara akhlak yang mulia.[4] Allah Swt. Berfirman:
وَمَا أُمِرُوْا اِلا لِيعْبُدُواالله مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاء لِيقيم الصلَوةَ ويؤثُوالزَّكَوةَ وَذلِكَ دِيْنُ القَيِّمَة        
Artinya: “padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.”
1.     Dilihat dari segi fungsinya, ilmu tauhid menghendaki agar seseorang yang bertauhid tidak hanya cukup dengan menghafal rukun iman yang enam dengan dalil-dalilnya saja tetapi juga meniru dan mencontoh terhadap subjek  yang terdapat dalam rukun iman itu.
Hubungan ilmu tauhid dan ilmu akhlak dapat pula dilihat pada eratnya kaitan antara iman dan amal shalih. Misalnya:
وَالْعَصْرِ . اِنَّ الاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ. اِلَّا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْاوَعَمِلُوْاالصَّلِحتِ وَتَوَا صَوْا بِاْلحَقِّ وّتَوَاصَوْابِِالصَّبْرِ.
Artinya: “demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”


1.     b.      Hubungan Akhlak Tasawuf dengan Filsafat
Tasawuf  jelas berbeda dengan filsafat. Sebab Filsafat berdasar kepada fikiran, Filsafat penuh dengan tanda tanya. Apa, bagaimana, dari mana dan apa sebab? Sedang tasawuf tidak mempertanyakan. Maka orang yang tidak memasuki alam tasawuf, dengan sendirinya tidak akan turut merasa apa yang mereka rasakan, bahkan bagi kaum tasawuf, kuasa perasaan itu lebih tinggi dari kuasa kata-kata. Mereka tidak tunduk kepada susunan huruf dan bunyi suara.[5]
Dengan filsafat orang mengetahui, akan menjadi tinggi martabat seorang tasawuf jika ahlinya berpengetahuan dan juga mempunyai alat filsafat seperti Ibnu ‘Arabi, Ghazali, Suhrawandi dan lain-lain. Dan seorang tasawuf akan menjadi kacau balau jika tidak mempunyai dasar ilmu sama sekali. Dizaman keemasan terdapat pula tasawuf yang tinggi, tapi setelah Dunia Islam menjadi jatuh, karena jatuh kekuasaannya, tasawuf sekaligus filsafat pun ikut merosot turun. Beberapa cabang ilmu yang sama-sama dimasuki oleh tasawuf dan filsafat yaitu etika (akhlak), estetika ( keindahan), ilmu jiwa (psikologi), dan yang tertama adalah Metafisika (Yang Ghaib) meskipun semua meneropong dari tempat tegaknya masing-masing.
Pada suatu hari seorang ahli filsafat islam yang besar Al-Syikh Al-Rais Abu Ali Ibnu Sina bertemu dengan seorang tasawuf besar yaitu Abu Sa’id. Keduanya berbincang dengan asyiknya dan setelah berpisah , ada orang yang bnertanya kepada Ibnu Sina, bagaimana kesan beliau tentang Abu Sa’id itu? Maka Ibnu Sina menjawab: “Saya mengetahui apa yang dia rasakan”. Dan seseorang juga bertanya pula kepada Abu Sa’id, bagaimana kesannya tentang Ibnu Sina, beliau menjawab: “Saya mengetahui apa yang dia saksikan (rasakan)”. Ini menandakan bahwa seorang bertasawuf  bisa memahami seorang yang berfilsafat dan begitu sebaliknya, tasawuf tidak bisa dilepaskan dari filsafat dan seorang yang berfilsafat tidak bisa lepas dari tasawuf sehingga keduanya saling berhubungan.[6]
1.     c.       Hubungan Akhlak Tasawuf dengan Psikologi Agama
Psikologi berarti jiwa, maka ilmu jiwa adalah pembahasan mengenai gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam tingkah laku. Dengan melalui ilmu jiwa, dapat diketahui gejala-gejala psikologis yang bersumber dari tingkah laku yang ditampakkan seseorang.
Pembahasan ilmu akhlak meliputi tingkah laku manusia, lalu dinilai tingkah laku tersebut apakah baik atau buruk. Persamaan antara keduanya adalah sama-sama membahas tingkah laku manusia, dan perbedaannya adalah bahwa ilmu akhlak memberikan penilaian sedangkan ilmu jiwa tidak demikian.[7]
Pengembangan dan penyempurnaan ilmu akhlak banyak menggunakan teori-teori ilmu jiwa. Al-Ghazali menulis dalam kitabnya Ihya Ulum al-Din tentang kondisi kejiwaan manusia misalnya dapat dilihat salah satu pembahasannya yang membicarakan arti jiwa, roh, hati dan akal. Begitu pula pada bab lain membicarakan terapi kejiwaan yang sakit (Mu’alajah amran al-qalbi) ini menunjukkan betapa sangat erat kaitan ilmu akhlak dengan ilmu jiwa. Bahkan ilmu akhlak dalam islam, disamping pengembangannya berdasarkan al-Qur’an dan Hadits, banyak juga menggunakna teori ilmu jiwa analisis (psikoanalisis). Ilmu akhlak dapat berkembang dengan menggunakan teori-teori psikologi dari hasil penelitian ahli ilmu jiwa, sedangkan ilmu jiwa juga dapat dikembangkan dengan menggunakan teori-teori ilmu akhlak dari kajian oleh para ulama akhlak.[8]
Selain itu, terdapat juga istilah psikologi islam. Menurut Achmad Mubarok telah berkembang beberapa definisi, salah satu diantaranya:
Psikologi islam ialah ilmu yang berbicara tentang manusia, terutama masalah kejiwaan manusia, yang bersifat filsafat, teori, metodologi dan pendekatan problem dengan didasari sumber-sumber formal islam (al-Qur’an dan Hadits) dan akal, indra dan intuisi.[9]
Psikologi islam memberi wawasan islam pada psikologi dan membuang unsur-unsur yang tidak sesuai dengan islam. Dengan demikian, psikologi islam masih menggunakan teori dan metodologi psikologi modern, sedang tasawuf lepas sama sekali dari teori dan metodologi psikologi dan inilah yang membedakan tasawuf dengan psikologi islam. Namun tasawuf mempunyai kontribusi besar dalam pengembangan psikologi islam karena tasawuf merupakan bidang kajian islam yang membahas jiwa dan gejala kejiwaan. Unsur islam dalam psikologi islam akan banyak berasal dari tasawuf.[10]
Psikologi islam berkembang tidak semata-mata karena ingin memberi wawasan islam pada psikologi, tetapi juga karena islam selama ini telah memiliki tasawuf yang ruang lingkupnya lebih luas daripada psikologi sehingga akan lebih komprehensif dalam mengkaji masalah jiwa dan kejiwaan umat islam.
Hal itu diperkuat oleh kenyataan bahwa masalah-masalah kejiwaan yang dibahas dalam psikologi islam juga merupakan masalah-masalah yang selama ini dibahas dalam tasawuf, seperti: Hati keras dan kasar (Ali ‘Imran: 159), hati yang bersih (Asy-Syu’araa’: 89), hati yang tenang (An-Nahl: 106), hati yang buta (Al-Hajj: 46), hati yang sangat takut (An-Naazi’at: 8), hati yang hancur (At-Taubah: 110), dan lain sebagainya.[11]
Selain itu, psikologi islam juga membahas muatan-muatan psikologis yang terdapat dalam al-Qur’an, seperti: penyakit hati (Al-Baqarah: 10 dan Al-Ahzaab: 32), perasaan takut (Ali ‘Imran: 151), keberanian (Ali ‘Imran: 126), getaran (Al-Anfaal: 2), cinta dan kasih sayang (Al-Hadiid: 27), kesesatan (Ali ‘Imran: 7), dan lain sebagainya.
Psikologi islam juga harus mengkaji amalan-amalan yang telah dilaksanakan oleh umat islam yang telah dilaksanakan oleh umat islam yang diduga memiliki dasar psikologis. Dalam bidang konseling misalnya meski para ulama tidak mengenal teori-teori bimbingan dan konseling modern, tetapi terapi psikologi bukan hal yang asing bagi mereka.
Ruang lingkup psikologi modern terbatas pada tiga dimensi, yaitu fisik-biologi, kejiwaan dan sosio-kultural, maka ruang lingkup psikologi islam disamping tiga hal ini juga mencakup dimensi kerohanian dan spiritual, suatu wilayah yang belum pernah disentuh oleh psikologi modern.[12]






BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Akhlak-Tasawuf dengan Ilmu Kalam, Filsafat maupun Psikologi agama sangat erat sekali. Dari ketiganya tidak dapat dipisahkan meskipun ketiga ilmu ini berdiri sendiri-sendiri sehingga terdapat perbedaan-perbedaan yang membedakan antara yang satu dengan yang lain.
Ilmu Kalam atau ilmu ushuluddin yang membahas pokok-pokok dalam islam yang akan mengarahkan perbuatan manusia, Ilmu Jiwa mengarahkan pada aspek batin manusia dengan cara menginterprestasikan prilakunya yang tampak, dan Filsafat sebagai upaya berpikir mendalam, radikal, samapi ke akar-akarnya yang erat kaitannya dengan ilm akhlak adalah tentang manusia, Filsafat sebagai bahan atau sumber yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep ilmu akhlak.

[1]Hamka, Perkembangan dan pemurniannya, ( Pustaka Panji Mas: Jakarta), 82.
[2]Ibid., 84-89.
[3]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (IAIN Sunan Ampel Press: Surabaya, 2011), 21.
[4]Ibid., 22-23.
[5]Hamka. Perkembangan dan Pemurniannya, ( Pustaka Panjimas: Jakarta, 1993), 154-155.
[6]Ibid.,
[7]Mahjuddin, Akhlak Tasawuf, (Radar Jaya Offset: Jakarta, 2010), 6.
[8] Ibid., 7.
[9]Sudirman Tebba, Tasawuf Positif, (Kencana: Jakarta, 2003), 61.
[10]Ibid., 63.
[11]Ibid., 65-66.
[12]Ibid., 67.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS