PEMBAHASAN
Dengan tasawuf , yang
artinya adalah pembersihan batin, jelaslah oleh kita sekarang dari mana dasar
tempatnya dan kemana tujuannya. Tujuannya dari bermula telah jelas yaitu
mendekatkan diri kepada Khalik pencipta, ada setengahnya yang sampai
berhubungan dan setengahnya yang mencapai perasaan bahwa dia bersatu dengan
Tuhan (Wahdatul Wujud). Jalan-jalan yang dilaluinya ialah cinta asyik, rindu
dendam, menyelidiki kelemahan diri sendiri dan kebesaran Tuhan. Yang berjalan
didalam tasawuf ialah perasaan dan fikiran adalah nomor dua.
1. a. Hubungan
Ilmu Akhlak dengan Ilmu Kalam
Secara harfiah, ilmu kalam berarti ilmu tentang
kata-kata atau pembicaraan. Jika yang dimaksud adalah kalam adalah sabda Tuhan,
maka yang di maksud adalah kalam Tuhan yang ada didalam al-Qur’an. Hal ini juga
terjadi pertentangan, dari mereka ada yang mengatakan bahwa kalam Tuhan itu
baru, makhluk atau diciptakan Tuhan, pendapat ini dianut oleh aliran
Mu’tazilah. Sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa kalam Tuhan itu qadim.
Pendapat inilah yang dianut oleh gologan Asy’ariyah dan lainnya.[3]
Ilmu kalam disebut juga ilmu tauhid karena ilmu ini
membahas tentang cara-cara mengesakan Tuhan, sebagai salah satu sifat yang
terpenting diantara sifat-sifatNya yang lain. Hubungan ilmu Akhlak dengan ilmu
Tauhid dapat dilihat melalui empat analisis, diantaranya:
1. Dilihat dari segi objek pembahasannya, bahwa ilmu tauhid membahas masalah
Tuhan baik dari segi zat, sifat dan perbuatan-Nya, dengan demikian ilmu tauhid
akan mengarahkan perbuatan manusia menjadi ikhlas, dan keikhlasan itu sendiri
adalah merupakan salah satu diantara akhlak yang mulia.[4] Allah Swt. Berfirman:
وَمَا أُمِرُوْا اِلا لِيعْبُدُواالله
مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاء لِيقيم الصلَوةَ ويؤثُوالزَّكَوةَ وَذلِكَ
دِيْنُ القَيِّمَة
Artinya: “padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan)
agama dengan lurus.”
1. Dilihat dari segi fungsinya, ilmu tauhid menghendaki agar seseorang yang
bertauhid tidak hanya cukup dengan menghafal rukun iman yang enam dengan
dalil-dalilnya saja tetapi juga meniru dan mencontoh terhadap subjek yang
terdapat dalam rukun iman itu.
Hubungan ilmu tauhid dan ilmu akhlak dapat pula
dilihat pada eratnya kaitan antara iman dan amal shalih. Misalnya:
وَالْعَصْرِ . اِنَّ الاِنْسَانَ لَفِيْ
خُسْرٍ. اِلَّا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْاوَعَمِلُوْاالصَّلِحتِ وَتَوَا صَوْا
بِاْلحَقِّ وّتَوَاصَوْابِِالصَّبْرِ.
Artinya: “demi masa, sesungguhnya manusia itu
benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran
dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”
1. b. Hubungan
Akhlak Tasawuf dengan Filsafat
Tasawuf jelas berbeda dengan filsafat. Sebab
Filsafat berdasar kepada fikiran, Filsafat penuh dengan tanda tanya. Apa,
bagaimana, dari mana dan apa sebab? Sedang tasawuf tidak mempertanyakan. Maka
orang yang tidak memasuki alam tasawuf, dengan sendirinya tidak akan turut
merasa apa yang mereka rasakan, bahkan bagi kaum tasawuf, kuasa perasaan itu
lebih tinggi dari kuasa kata-kata. Mereka tidak tunduk kepada susunan huruf dan
bunyi suara.[5]
Dengan filsafat orang mengetahui, akan menjadi tinggi
martabat seorang tasawuf jika ahlinya berpengetahuan dan juga mempunyai alat
filsafat seperti Ibnu ‘Arabi, Ghazali, Suhrawandi dan lain-lain. Dan seorang
tasawuf akan menjadi kacau balau jika tidak mempunyai dasar ilmu sama sekali.
Dizaman keemasan terdapat pula tasawuf yang tinggi, tapi setelah Dunia Islam
menjadi jatuh, karena jatuh kekuasaannya, tasawuf sekaligus filsafat pun ikut
merosot turun. Beberapa cabang ilmu yang sama-sama dimasuki oleh tasawuf dan
filsafat yaitu etika (akhlak), estetika ( keindahan), ilmu jiwa (psikologi),
dan yang tertama adalah Metafisika (Yang Ghaib) meskipun semua meneropong dari
tempat tegaknya masing-masing.
Pada suatu hari seorang ahli filsafat islam yang besar
Al-Syikh Al-Rais Abu Ali Ibnu Sina bertemu dengan seorang tasawuf besar yaitu
Abu Sa’id. Keduanya berbincang dengan asyiknya dan setelah berpisah , ada orang
yang bnertanya kepada Ibnu Sina, bagaimana kesan beliau tentang Abu Sa’id itu?
Maka Ibnu Sina menjawab: “Saya mengetahui apa yang dia rasakan”. Dan seseorang
juga bertanya pula kepada Abu Sa’id, bagaimana kesannya tentang Ibnu Sina,
beliau menjawab: “Saya mengetahui apa yang dia saksikan (rasakan)”. Ini
menandakan bahwa seorang bertasawuf bisa memahami seorang yang
berfilsafat dan begitu sebaliknya, tasawuf tidak bisa dilepaskan dari filsafat
dan seorang yang berfilsafat tidak bisa lepas dari tasawuf sehingga keduanya
saling berhubungan.[6]
1. c. Hubungan
Akhlak Tasawuf dengan Psikologi Agama
Psikologi berarti jiwa, maka ilmu jiwa adalah
pembahasan mengenai gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam tingkah laku.
Dengan melalui ilmu jiwa, dapat diketahui gejala-gejala psikologis yang
bersumber dari tingkah laku yang ditampakkan seseorang.
Pembahasan ilmu akhlak meliputi tingkah laku manusia,
lalu dinilai tingkah laku tersebut apakah baik atau buruk. Persamaan antara
keduanya adalah sama-sama membahas tingkah laku manusia, dan perbedaannya
adalah bahwa ilmu akhlak memberikan penilaian sedangkan ilmu jiwa tidak
demikian.[7]
Pengembangan dan penyempurnaan ilmu akhlak banyak
menggunakan teori-teori ilmu jiwa. Al-Ghazali menulis dalam kitabnya Ihya
Ulum al-Din tentang kondisi kejiwaan manusia misalnya dapat dilihat
salah satu pembahasannya yang membicarakan arti jiwa, roh, hati dan akal.
Begitu pula pada bab lain membicarakan terapi kejiwaan yang sakit (Mu’alajah
amran al-qalbi) ini menunjukkan betapa sangat erat kaitan ilmu akhlak
dengan ilmu jiwa. Bahkan ilmu akhlak dalam islam, disamping pengembangannya
berdasarkan al-Qur’an dan Hadits, banyak juga menggunakna teori ilmu jiwa
analisis (psikoanalisis). Ilmu akhlak dapat berkembang dengan menggunakan
teori-teori psikologi dari hasil penelitian ahli ilmu jiwa, sedangkan ilmu jiwa
juga dapat dikembangkan dengan menggunakan teori-teori ilmu akhlak dari kajian
oleh para ulama akhlak.[8]
Selain itu, terdapat juga istilah psikologi islam.
Menurut Achmad Mubarok telah berkembang beberapa definisi, salah satu
diantaranya:
Psikologi islam ialah ilmu yang berbicara tentang
manusia, terutama masalah kejiwaan manusia, yang bersifat filsafat, teori,
metodologi dan pendekatan problem dengan didasari sumber-sumber formal islam
(al-Qur’an dan Hadits) dan akal, indra dan intuisi.[9]
Psikologi islam memberi wawasan islam pada psikologi
dan membuang unsur-unsur yang tidak sesuai dengan islam. Dengan demikian,
psikologi islam masih menggunakan teori dan metodologi psikologi modern, sedang
tasawuf lepas sama sekali dari teori dan metodologi psikologi dan inilah yang
membedakan tasawuf dengan psikologi islam. Namun tasawuf mempunyai kontribusi
besar dalam pengembangan psikologi islam karena tasawuf merupakan bidang kajian
islam yang membahas jiwa dan gejala kejiwaan. Unsur islam dalam psikologi islam
akan banyak berasal dari tasawuf.[10]
Psikologi islam berkembang tidak semata-mata karena
ingin memberi wawasan islam pada psikologi, tetapi juga karena islam selama ini
telah memiliki tasawuf yang ruang lingkupnya lebih luas daripada psikologi
sehingga akan lebih komprehensif dalam mengkaji masalah jiwa dan kejiwaan umat
islam.
Hal itu diperkuat oleh kenyataan bahwa masalah-masalah
kejiwaan yang dibahas dalam psikologi islam juga merupakan masalah-masalah yang
selama ini dibahas dalam tasawuf, seperti: Hati keras dan kasar (Ali ‘Imran:
159), hati yang bersih (Asy-Syu’araa’: 89), hati yang tenang (An-Nahl: 106),
hati yang buta (Al-Hajj: 46), hati yang sangat takut (An-Naazi’at: 8), hati
yang hancur (At-Taubah: 110), dan lain sebagainya.[11]
Selain itu, psikologi islam juga membahas
muatan-muatan psikologis yang terdapat dalam al-Qur’an, seperti: penyakit hati
(Al-Baqarah: 10 dan Al-Ahzaab: 32), perasaan takut (Ali ‘Imran: 151),
keberanian (Ali ‘Imran: 126), getaran (Al-Anfaal: 2), cinta dan kasih sayang
(Al-Hadiid: 27), kesesatan (Ali ‘Imran: 7), dan lain sebagainya.
Psikologi islam juga harus mengkaji amalan-amalan yang
telah dilaksanakan oleh umat islam yang telah dilaksanakan oleh umat islam yang
diduga memiliki dasar psikologis. Dalam bidang konseling misalnya meski para
ulama tidak mengenal teori-teori bimbingan dan konseling modern, tetapi terapi
psikologi bukan hal yang asing bagi mereka.
Ruang lingkup psikologi modern terbatas pada tiga
dimensi, yaitu fisik-biologi, kejiwaan dan sosio-kultural, maka ruang lingkup
psikologi islam disamping tiga hal ini juga mencakup dimensi kerohanian dan
spiritual, suatu wilayah yang belum pernah disentuh oleh psikologi modern.[12]
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa
hubungan antara Akhlak-Tasawuf dengan Ilmu Kalam, Filsafat maupun Psikologi
agama sangat erat sekali. Dari ketiganya tidak dapat dipisahkan meskipun ketiga
ilmu ini berdiri sendiri-sendiri sehingga terdapat perbedaan-perbedaan yang
membedakan antara yang satu dengan yang lain.
Ilmu Kalam atau ilmu ushuluddin yang membahas
pokok-pokok dalam islam yang akan mengarahkan perbuatan manusia, Ilmu Jiwa
mengarahkan pada aspek batin manusia dengan cara menginterprestasikan
prilakunya yang tampak, dan Filsafat sebagai upaya berpikir mendalam, radikal,
samapi ke akar-akarnya yang erat kaitannya dengan ilm akhlak adalah tentang manusia,
Filsafat sebagai bahan atau sumber yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi
konsep ilmu akhlak.
[1]Hamka, Perkembangan
dan pemurniannya, ( Pustaka Panji Mas: Jakarta), 82.
[2]Ibid., 84-89.
[3]Tim Penyusun MKD IAIN
Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (IAIN Sunan Ampel Press:
Surabaya, 2011), 21.
[4]Ibid., 22-23.
[5]Hamka. Perkembangan
dan Pemurniannya, ( Pustaka Panjimas: Jakarta, 1993), 154-155.
[6]Ibid.,
[7]Mahjuddin, Akhlak
Tasawuf, (Radar Jaya Offset: Jakarta, 2010), 6.
[8] Ibid., 7.
[9]Sudirman Tebba, Tasawuf
Positif, (Kencana: Jakarta, 2003), 61.
[10]Ibid., 63.
[11]Ibid., 65-66.
[12]Ibid., 67.