ILMU JARH WA AT-TA’DIL
disusun oleh:
SYAMSUL
FAJRY
NIM:
131209526
FAKULTAS
SYARIAH
SYARIAH
PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA
ACEH
2012-2013
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ...................................................................................................... 2
A. PENDAHULUAN ........................................................................................ 3
B. ILMU JARH WA TA’DIL............................................................................ 5
1.
Pengertian jarh wa ta’dil.......................................................................... 5
2.
Lafazd-lafazd jarh wa ta’dil.................................................................... 7
3.
Syarat-syarat jarh wa ta’dil ..................................................................... 14
4.
Beberapa kaidah jarh wa ta’dil ............................................................... 15
C. PENUTUP...................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 22
A. PENDAHULUAN
Ilmu Jarh Wa at-ta’dil adalah sebuah ilmu yang membahas tentang
sifat-sifat seorang rawi yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa
yang diriwayatkannya. Atau dengan kata lain ilmu jarh wa at-ta’dil
adalah ilmu yang membahas tenteng memberikan kritikan adanya aib atau
memberikan pujian adil kepada seorang rawi. Faedah mempelajari ilmu jarh wa
at-ta’dil adalah untuk menetapkan apakah periwayatan seorang itu dapat
diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dijarh oleh para
ahli sebagai seorang rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak dan
apabila seorang rawi dipuji sebagai orang yang adil, niscaya periwayatannya
diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits dipenuhi.
Manfaat dari ilmu jarh wa at-ta’dil untuk mengetahui mana hadits
yang shahih dan mana hadits yang tidak shahih dilihat dari perawinya. Banyak
jalan untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi, dengan cara mentarjih.
Orang yang menta’dilkan dan mentarjihkan tidak sembarang orang, tetapi harus
memiliki syarat-syarat tertentu. Orang yang menta’dila dan mentarjih bisa
menyebutkan sebab-sebab seorang rawi bisa juga tidak menyebutkan
sebab-sebabnya. Untuk yang tidak disebutkan sebab-sebabnya disebut dengan
subham, masih diperselisihkan oleh para ulama. Bnayak pendapat para ulama
tentang subham. Adapun jumlah orang yang bisa menta’dil dan mentarjih juga
diperselisihkan.
Semua permasalahan di atas, akan dibahas lebih mendalam lagi. Dengan adanya
makalah ini semoga kita semua bisa lebih faham lagi tentang ilmu Jarh Wa at-ta’dil.
Kita bisa mengetahui siapa saja orang yang bisa menta’dil dan mentarjih,
syarat-syarat orang yang bisa menta’dil dan mentarjih dan kita mengetahui
tentang beberapa pendapat dalam ilmu jarh wa at-ta’dil.
B.
ILMU AL-JARH
WA AT-TA’DIL
1.
Pengertian
Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Kalimat al jarh wa at-ta’dil merupakan satu dari kesatuan
pengertian, yang terdiri dari dua kata, yaitu al-jarh dan at-ta’dil.
Al-jarh secara etimologi berarti seseorang membuat luka pada tubuh orang
lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu. Secara terminologi, al-jarh
berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau
mencacatkan hapalan dan kekuatan ingatannya, seperti pada keadilan dan
kedabitannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau
bahkan tertolak riwayatnya. Adapun at-tajrih mensifati seorang perawi
degan sifat-sifat yang membawa konsekuensi penilaian lemah atas riwayatnya atau
tidak diterima.[1]
Ilmu jarh wa at-ta’dil yang secara bahasa berarti luka, cela, atu cacat,
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada
keadilan dan kedhabithannya.[2]
Para ahli
hadits mendifinisikan al-jarh dengan:
ا لطعن في راوي الحد يث بما يسلب او
يخل بعد الته او ضبطه
“ kecacatan pada perawi hadist disebabkan oleh sesuatu yang
dapat merusak keadilan atau kedabitan perawi.”[3]
Sedang at- ta’dil yang secara bahasa berarti at-Tasywiyah (menyamakan) ,
sedangkan menurut istilah : [4]
عكسه هو تز كية الروي والحكم عليه با
نه عدل او ضابط
“ lawan dari
al-jarh , yaitu pembersihan/pensucian perawi dengan ketetapan bahwa ia adil
atau dabit.”
Ulama
lain mendefinisikan al-jarh dan at-ta’dil dalam satu definisi: [5]
علم يبحث عن
الرواة من حيث ها ورد في شا نهم مما يشنهم او يز كيهم باالغاظ مخصو صة
“ Ilmu yang membahas tentang para perawi hadist dari
segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencatatkan atau
membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafazd-lafazd tertentu.”
العلم الذي يبحث في
احوال الرواة من حيث قبول رواياتهم او ردها
“Ilmu
yang membahas hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat
mereka”
Pengertian al-adl secara
etimologi berarti sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus atau
merupakan lawan dari hancur. Orang adil berarti orang yang diterima
kesaksiannya. Ta’dil pada diri seseorang berarti menilai positif. Adapun secara
terminologi, al-adl berarti orang yang tidak memiliki sifat yang
mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya.[7]
Lafadz al-jarh, menurut
Muhadisin, ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan
kehafalannya. Men-jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti
menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelamahan atau
tetolak apa yang diriwayatkannya. Adapun rawi dikatakan adil yaitu orang
yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan
keperwiraannya. Member sifat-sifat terpuji kepada rawi sehingga yang
diriwayatkannya dapat diterima dan disebut men-ta’dil-kannya. Berdasarkan
pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli, ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan
suatu materi pembahasan dari cabang ilmu hadits yang membahas cacat atau
adilnya seseorang yang meriwayatkan hadits yang berpengaruh besar terhadap
klasifikasi haditsnya.[8]
2.
Lafadz-Lafadz
Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Lafadz-lafadz yang digunakan untuk men-tajrih-kan dan men-ta’dil-kan itu
bertingkat. Menurut Ibnu Hatim, Ibnu Shalah, dan Imam An-Nawawy, lafadz-lafadz
itu disusun menjadi 4 tingkatan, menurut Al-Hafidz Ad-Dzahaby dan Al-Iraqy
menjadi 5 tingkatan, sedangkan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan,
yaitu sebagai berikut:[9]
1)
Tingkatan pertama, segala sesuatu
yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan, dengan menggunakan lafadz-lafadz
af’alu al-ta’dil atau ungkapan lain yang mengandug pengertian sejenis:
اوثق الناس
= orang yang paling tsiqat, orang yang paling kuat hafalannya.
اثبت الناس حفظا وعدالة = orang yang paling mantap hafalan dan
keadilannya.
اليه المنتهى في الثبت = orang yang
paling menonjol keteguhan hatinya dan akidahnya.
ثقة فوق ثقة
= orang yang tsiqat melebihi orang tsiqat.
2)
Tingkatan kedua, memperkuat
ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat yang menunjukkan keadilan dan
ke-dhabit-annya, baik sifatnya yang dihubungkan itu selafadz (dengan
mengulangnya) maupun semakna, misalnya:
ثبت ثبت =
orang yang teguh (lagi) teguh, yaitu teguh dalam pendiriannya.
ثقة ثقة
= orang yang tsiqah (lagi) tsiqah, yaitu yang sangat dipercaya.
حجة حجة = orang yang
ahli (lagi) petah lidahnya.
ثبت ثقة
= orang yang teguh (lagi) tsiqah, yaitu teguh dalam pendiriannya dan kuat
hafalannya.
حافظ حجة = orang yang hafidz
(lagi) petah lidahnya.
ضابط متقن = orang yang kuat
ingatannya (lagi) meyakinkan ilmunya.
3)
Tingkatan ketiga, menunjukkan
keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti ‘kuat ingatan’, misalnya:
ثبت = orang yang teguh (hati-hati lildahnya).
متقن = orang yang meyakinkan ilmunya.
ثقة = orang yang tsiqah.
حافظ = orang yang hafidz (kuat hafalannya).
حجة = orang yang petah lidahnya.
4)
Tingkatan keempat,menunujkkan
keadilan dan ke-dhabit-an, tetapi dengan lafadz yang tidak mengandung arti
‘kuat ingatan dan adil’ (tsiqah), misalnya:
صدوق
= orang yang sangat jujur
ماء مون =
orang yang dapat memegang amanat
لا باء س به = orang yang tidak cacat
5)
Tingkatan kelima, menunjukkan
kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui ke-dhabit-an, misalnya:
محلة الصدق = orang yang berstatus jujur
جيد الحديث = orang yang baik
haditsnya
حس الحديث = orang yang bagus
haditsnya
مقارب الحديث = orang yang haditsnya berdekatan dengan
hadits lain yang tsiqah
6)
Tingkatan keenam, menunujukka arti
‘mendekati cacat’. Seperti sifat-sifat tersebut di atas yang diikuti dengan lafadz
“Insya Alla”, atau lafadz tersebut di-tashir-kan (pengecilan arti), atau lafadz
itu dikaitkan dengan suatu pengharapan, misalnya:
صدوق ان شاءالله
= orang yang jujur, insya Allah
فلان ارجو بان لا باء س به
= orang yang diharapkan tsiqah
فلان صويلج = orang yang sedikit keshalihannya
فلان مقبول حديثة =
oranng yang diteruma hadits-haditsnya
Para ahli ilmu mempergunakan
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang di-ta’dil-kan menurut
tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Adapun hadits-hadits
para rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat
ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits periwayat lain. [10]
Kemudian, tingkatan dan lafadz-lafadz untuk men-tajrih
rawi-rawi, yaitu; [11]
1. Tingkatan
pertama, menunjuk pada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan
lafadz-lafadz yang berbentuk af’alu al ta’dil atau ungkapan lain yang
mengandung pengertian sejenisnya, misalnya:
اوضع الناس
= orang yang paling dusta
اكذب الناس
= orang yang paling bohong
اليه المنتهى في الوضع = orang yang paling menonjol
kebohongannya
2. Tingkatan
kedua, menunjukkan sangat cacat dengan menggunakan lafadz-lafadz berbentuk
sighat muballaghoh, misalnya:
كذاب
= orang yang
pembohong
وضاع
= orang yang
pendusta
دجال
= orang yang
penipu
3. Tingkatan
ketiga, menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong atau sebagainya, mislanya:
فلان متهم بالكذب
= orang yang dituduh bohong
او متهم بالوضع
= orang yang
dituduh dusta
فلان فيه النظر
= orang yang perlu diteliti
فلان ساقط
= orang yang gugur
فلان ذاهب الحديث =
orang yang haditsnya telah hilang
فلان متروك الحديث = orang yang
ditinggalkan haditsnya
4. Tingkatan
keempat, menunjukkan sangat lemahnya, misalnya:
مطروح الحديث
= orang yang dilempar haditsnya
فلان ضعيف
= orang yang lemah
فلان مردود الحديث = orang yang
ditolak haditsnya
5. Tingkatan
kelima, menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya,
misalnya:
فلان لايحتج به
= orang yang tidak dapat dibuat hujjah
haditsnya
فلان مجهول
= orang yang tidak dikenal haditsnya
فلان منكر الحديث
= orang yang mungkar haditsnya
فلان مضطرب الحديث =orang yang kacau haditsnya
فلان واه
= orang yang banyak duga-duga
6. Tingkatan
keenam, menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tetapi
sifat-sifat itu berdekatan dengan adil, misalnya:
ضعف حديثه
= orang yang di-dha’if-kan haditsnnya
فلان مقال فيه = orang yang
diperbincangkan
فلان فيه خلف = orang
yang disingkiri
فلان لين
= orang yang lunak
فلان ليس بالحجة
= orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya
فلان ليس بالقوي
=orang yang tidak kuat
Orang yang di-tajrih menurut tingkat
pertama sampai dengan tingkat keempat, haditsnya tidak dapat dibuat hujjah sama
sekali. Adapun orang-orang yang di-tajrih-kan menurut tingkatan kelima dan
keenam, haditsnya masih dapat diapakai sebagai i’tibar (tempat pembanding).[12]
3.
Syarat-Syarat
Bagi Orang Yang Men-Ta’dilkan dan Men-Tajrihkan
Kita tidak boleh menerima begitu
saja penilaian seorang ulama’ terhadap ulama lainnya, melainkan harus jelas
dulu sebab-sebab penilaian tersebut. Terkadang, orang yang menganggap orang
lain cacat, mala ia sendiri juga cacat. Oleh sebab itu, kita tidak boleh
menerima langsung suatu perkataan sebelum ada yang menyetujuinya. Ada beberapa
syarat bagi oranng yang men-ta’dil-kan (mu’addil) dan orang yang
men-jarh-kan (jarih), yaitu:[13]
1) Berilmu pengetahuan
2) Takwa
3)
Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa-dosa kecil, dan makruhat-makruhat)
4) Jujur
5) Menjauhi fanatic
golongan
6) Mengetahui
sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.
4.
Kaidah Ilmu
Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat
untuk menetapkan apakah periwayatan seoranng rawi itu dapat diterima atau harus
ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai
seoranng rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dan apabila seorang
rawi dipuji sebagai seorang adil, niscaya periwatannya diterima, selama
syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits terpenuhi.[14]
Jika kita tidak mengetahui benar
atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan antara hadits yang
benar-benar dari Rasulullah dan hadits yang palsu (maudhu’). Dengan mengetahui
ilmu al-jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi mana hadits
shahih, hasan, ataupun hadits dhaif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan
dari matannya. Adapun keaiban seorang rawi pada umumnya yaitu:[15]
- Bid’ah (melakukan tindakan tercela, di luar
ketentuan syari’at),
- Mukhalafah (melaini dengan periwayatan orang yang
lebih tsiqah),
- Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatan).
- Jahalatu’l-Hal (tidak di kenal identitasnya) .
- Da’wa’l-inqhitha’ (di duga keras sanadnya tidak
bersambung).
- Metode untuk Mengetahui Keadilan dan Kecacatan
Rawi serta Masalah-Masalahnya
Keadilan seorang rawi dapat
diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan berikut ini:[16]
Pertama, dengan
kepopuleran di kalangan para ahli ilmu bahwa ia dikenal sebagai seorang yang
adil (bisy-syuhroh).
Kedua, dengan
pujian dari seorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang
adil oleh orang yang adil yang semula rawi yang dita’dilkan itu belum terkenal
sebagai rawi yang adil.
Penetapan keadilan seorang rawi
dengan jalan tazkiyah dapat dilakukan oleh:[17]
- Seorang rawi yang adil. Jadi, tidak perlu
dikaitkan dengan banyaknya orang yang men-ta’dil-kan sebab jumlah itu
tidak menjadi syarat untuk penerimaan hadits.
- Setiap orang yang dapat diterima periwatannya,
baik laki-laki maupun perempuan, baik yang merdeka ataupun budak, selama
ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.
Penetapan tentang kecacatan seorang
rawi juga dapat diketahui melalui dua cara, yaitu:[18]
- Berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam
keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik
atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan.
Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
- Berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang
yang adil, yang telah mengetahui sebab-sebab dia cacat. Demikian ketetapan
yang dipegang muhaditsin, sedangkan menurut para fuqoha,
sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang adil.
Ada beberapa masalah yang
berhubungan dengan men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan seorang rawi,
diantaranya secara mubham (tak disebutkan sebab-sebabnya) dan ada
kalanya mufasar (disebutkan sebab-sebabnya). Tentang mubham ini diperselisihkan
oleh para ulama’ dalam beberapa pendapat, yaitu:[19]
a.
Menta’dilkan tanpa menyebutkan sebab-sebabnya dapat diterima,
karena sebab itu banyak sekali , sehingga kalau disebutkan semuanya tentu akan
menyibukkan saja adapun mentajrihkan tidak diterima, katau tidak menyebutkan
sebab-sebabnya, karena jarh dapat berhasil dengan satu sebab saja . Dan karena
orang-orang itu berlainan dalam mengemukakan sebab jarh, sehingga tidak
mustahil seseorang men-tajrih menurut keyakinannnya , tetapi tidak dalam
kenyataan nya . Jadi agar jelas apakah ia tercacat atau tidak perlu disebutkan
sebab-sebabnya.
b.
Untuk ta’dil
harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarh-kan tidak perlu . Karena
sebb-sebab menta’dilkan itu, bisa dibuat-buat, hingga harus diterangkan, sedang
men-tajrih-kan tidak bisa dibuat-buat.
c.
Untuk
kedua-duanya, harus disebut sebab-sebabnya.
d.
Untuk
kedua-duanya, tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya, sebab si Jarh
dan Me,addil sudah mengenal seteliti-telitinya sebab-sebab
tersebut. Diantara sebab munculnya kreteria Mumham dan musafar
karena terjadi perbedaan pemahaman tentang penilaian terhadap para rawi .
Masalah berikutnya adalah
perselisian dalam menentukannya mengenai jumlah orang yang dipandang cukup
untuk dan menta’dilkan dan mentajrihkan rawi sebagaimana
berikut:[20]
- Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah
maupun dalam soal riwayat. Demikian pendapat kebanyaakan fuqoha
Madinah.
- Cukup seorang saja dalam soal
riwayat bukan dalm soal syahadah. Sebab, bilangan tersebut tidak menjadi
syarat dalam penerimaan hadis, maka tidak pula disyaratkan dalam
menta’dilkan dan men-tajrih-kan rawi. Berlainan dalam soal syahadah.
- Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah
maupun dalam soal syahadah.
Adapun kalau
ke-adilan-nya itu diperolah atas dasar pujian orang banyak atau
dimashurkan oleh ahli-ahli ilmu, tidak diperlukan lagi orang yang menta,dilkan
(muzakky=mua’dil). Seperti Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal ,
Al-Laits, Ibnu Mubarak, Sya’aibah, Ishak, dan lain-lain.[21]
Dan para
ulama hadits juga menempuh jalur kehati-hatiannya dengabn menaruh kaedah
penerimaan riwayat seseorang berkaitan dengan aqidahnya sebagai berikut:[22]
·
Jika perawi tersebut muslim,
riwayatnya diterima, jika non muslim, tidak diterima.
·
Jika muslim tersebut pengikut aliran/mazhab
yang menyimpang(bid’ah), maka harus dilihat, bid’ahnya tersebut dapat
mengkafirkan, maka riwayatnya tidak diterima, jika masih belum mengkafirkan ,
masih bisa diterima dengan tiga syarat:
1.
Tidak tergolong ekstrim(ghulu) dalam
kebid’ahannya.
2.
Tidak termasuk provokator (da’i)
untuk kebid’ahannya.
3.
Hadits riwayatnya tidak berkaitan
dengan kebid’ahannya.
Menelaah persyaratan diatas, jelas
dan nampak sekali maksud dan arah tujuannya, yaitu menghindari kemungkinan
pemalsuan hadits semaksimal mungkin.
C. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan materi di
atas dapat simpulkan bahwa:
- ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan suatu
materi pembahasan dari cabang ilmu hadits yang membahas cacat atau adilnya
seseorang yang meriwayatkan hadits yang berpengaruh besar terhadap
klasifikasi haditsnya.
- Ilmu al-jarh wa al-ta’dil muncul bersamaan
dengan munculnya periwayatan di dalam Islam yang sudah ada sejak awal
kemunculan Islam.
- Jarh wa ta’dil bukanlah termasuk ghibah yang
dilarang, bahkan para ulama mengategorikannya sebagai nasehat dalam agama.
Oleh karena itu, para ulama membolehkan jarh wa ta’dil untuk
menjaga syariat/agama ini, bukan untuk mencela menusia.
- Ilmu al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk
menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus
ditolak sama sekali serta untuk menyeleksi mana hadits shahih, hasan,
ataupun hadits dhaif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari
matannya.
- Ada beberapa syarat bagi orang yang men-ta’dil-kan
(mu’addil) dan orang yang men-jarh-kan (jarih),
yaitu: berilmu pengetahuan, takwa, wara’, jujur, menjauhi fanatic golongan
dan mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.
- Lafadz-lafadz yang digunakan untuk men-tajrih-kan
dan men-ta’dil-kan itu bertingkat. Menurut Ibnu Hatim, Ibnu Shalah, dan
Imam An-Nawawy, lafadz-lafadz itu disusun menjadi 4 tingkatan, menurut
Al-Hafidz Ad-Dzahaby dan Al-Iraqy menjadi 5 tingkatan, sedangkan Ibnu
Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan.
- Para ahli ilmu mempergunakan hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh rawi-rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan pertama
sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Adapun hadits-hadits para rawi
yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat
ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits periwayat
lain.
DAFTAR PUSTAKA
Rahman,
Fatchur.1974, Ikhtisar Mushthalahul Hadist, Bandung: PT Alma’ Arif.
Suparta,
Munzier,dkk.1993, Ilmu Hadits,
Jakarta: PT Raja Grafindo.
Lutfi,
Ahmad, Fathullah.2005, Hadits Nabi,
Depok: AL-insan.
Suparta, Munzier. 2010, Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Idri. 2010, Studi
Hadis, Jakarta: Kencana
[1]
Idri, Studi Hadis, Jakarta: Kencana, 2010, hal 276
[2]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010,
hal 31
[3]
Munzier Suparta, Utung Ranu Wijaya,Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja
Grafindo,1993,hal 27
[4]
Munzier Suparta, Utung Ranu Wijaya, ilmu hadits,......... hal 27.
[5]
Munzier Suparta, Utung Ranu Wijaya, Ilmu Hadits,....... hal 28.
[6]
Fatchur Rahman, ikhtisar mushthalahul hadist, Bandung: PT Alma Arif,
1974 hal 307.
[7]
Munzier Suparta, Utung Ranu Wijaya, Ilmu Hadits,....... hal 28
[8]
Fatchur Rahman, ikhtisar mushthalahul hadist,....... hal 307
[9]
Fatchur Rahman, ikhtisar mushthalahul hadist,....... hal 313.
[10]
Fatchur Rahman, ikhtisar mushthalahul hadist,....... hal 316
[11]
Fatchur Rahman, ikhtisar mushthalahul hadist,....... hal 316
[12]
Fatchur Rahman, ikhtisar mushthalahul hadist,........ hal 318.
[13]
Fatchur Rahman, ikhtisar mushthalahul hadist,.......... hal 311.
[14]
Fatchur Rahman, ikhtisar mushthalahul hadist,......... hal 307.
[15]
Fatchur Rahman, ikhtisar mushthalahul hadist,........ hal 308.
[16]
Fatchur Rahman, ikhtisar mushthalahul hadist,............ hal 309
[17]
Fatchur Rahman, ikhtisar mushthalahul hadist,............ hal 310
[18]
Fatchur Rahman, ikhtisar mushthalahul hadist,............ hal 310
[19]
Fatchur Rahman, ikhtisar mushthalahul hadist,............ hal 311
[20]
Fatchur Rahman, ikhtisar mushthalahul hadist,............ hal 312
[21]
Fatchur Rahman, ikhtisar mushthalahul hadist,............ hal 312
[22]
.Ahmad Lutfi Fathullah, Hadits Nabi, Depok: Al-insan, 2005 hal 37.
0 komentar:
Posting Komentar