A. Ilmu Hadis Riwayah
Menurut bahasa riwayah berasal dari kata
rawa-yarwi-riwayatan yang berarti annaql =memindahkan dan penukilan.
Sedangkan ilmu hadits riwayah menurut istilah sebagaimana pendapat Dr. Subhi
Asshalih adalah :
” ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mempelajari
tentang periwayatan secara teliti dan berhati-hati bagi segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan
dan sifat serta segala segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabiin
” (Subhi Asshalih, Ulumul Hadits…hal. 107)
Sementara itu, obyek Ilmu Hadits Riwayah, ialah
membicarakan bagaimana cara menerima, menyampaikan pada orang lain dan
memindahkan atau membukukan dalam suatu Kitab Hadits. Dalam menyampaikan dan
membukukan Hadits, hanya dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai
matan maupun sanadnya.
Adapun kegunaan mempelajari ilmu ini adalah untuk
menghindari adanya kemungkinan yang salah dari sumbernya, yaitu Nabi Muhammad
Saw. Sebab berita yang beredar pada umat Islam bisa jadi bukan hadits,
melainkan juga ada berita-berita lain yang sumbernya bukan dari Nabi, atau
bahkan sumbernya tidak jelas sama sekali.
1. HADITS RIWAYAH
BIL-LAFDZI
Meriwayatkan hadits dengan lafadz adalah meriwayatkan
hadits sesuai dengan lafadz yang mereka terima dari Nabi saw dan mereka hafal
benar lafadz dari Nabi tersebut. Atau dengan kata lain meriwayatkan dengan
lafadz yang masih asli dari Nabi saw. Riwayat hadits dengan lafadz ini
sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik
melalui perkataan maupun perbuatan, dan pada saat itu sahabat langsung menulis
atau menghafalnya.
Hadits yang menggunakan lafadz-lafadz di atas
memberikan indikasi, bahwa para sahabat langsung bertemu dengan Nabi saw dalam
meriwayatkan hadits. Oleh karenanya para ulama menetapkan hadits yang diterima
dengan cara itu menjadi hujjah, dengan tidak ada khilaf.
2. HADITS
RIWAYAH BIL-MA’NA
Meriwayatkan
hadits dengan makna adalah meriwayatkan hadits dengan maknanya saja sedangkan
redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan. Atau dengan kata lain
apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami maksudnya saja, lalu
disampaikan oleh para sahabat dengan lafadz atau susunan redaksi mereka
sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang
kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama,
sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi
sudah tidak diingatnya.
Menukil atau meriwayatkan hadits secara makna ini hanya diperbolehkan ketikan hadits-hadits belum terkodifikasi. Adapun hadits-hadits yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafadz/matan yang lain meskipun maknanya tetap.
B. Ilmu Hadist Dirayah
Ilmu Hadits Dirayah,
menurut bahasa dirayah berasal dari kata dara-yadri-daryan yang berarti
pengetahuan. Maka seringkali kita mendengar Ilmu Hadits Dirayah Disebut-sebut
sebagai pengetahuan tentang ilmu Hadits atau pengantar ilmu hadits.
Menurut imam Assyuthi, Ilmu Hadits Dirayah adalah ”
ilmu yang mempelajari tentang hakikat periwayatan, syarat-syaratnya,
macam-macamnya dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka,
macam-macam periwayatan, dan hal-hal yang berkaitan dengannya”.
Disebut dengan juga ilmu Musthalahul Hadits –
undang-undang (kaidah-kaidah) untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan,
cara-cara menerima dan menyampaikan al-Hadits, sifat-sifat rawi dan lain
sebagainya.
Obyek Ilmu Hadits Riwayah : meneliti kelakuan para
rawi dan keadaan marwinya (sanad dan matannya). Menurut sebagian ulama, yang
menjadi obyeknya ialah Rasulullah SAW sendiri dalam kedudukannya sebagai Rasul
Allah. Faedahnya atau tujuan ilmu ini : untuk menetapkan maqbul (dapat
diterima) atau mardudnya (tertolaknya) suatu hadits dan selanjutnya untuk
diamalkannya yang maqbul dan ditinggalnya yang mardud.
Berikut di antara ilmu-ilmu yang bermunculan dari
berbagai ragam topik ilmu dirayah;
1. Ilmu Jarah Wa Al-Ta’dil
Ilmu ini membahas para rawi, sekiranya masalah yang
membuat mereka tercela atau bersih dalam menggunakan lafad-lafad tertentu. Ini
adalah buah ilmu tersebut dan merupakan bagian terbesarnya.
2. Ilmu Tokoh-Tokoh Hadits
Dengan ilmu ini dapat diketahui apakah para rawi layak
menjadi perawi atau tidak. Orang yang pertama di bidang ini adalah al-bukhari
(256 H). dalam bukunya thabaqat, ibn sa’ad (230 H) banyak menjelaskannya.
3. Ilmu Mukhtalaf Al-Hadits
Iamam Nawawi berkata dalam kitab al-Taqrib, “ini
adalah salah satu disiplin ilmu dirayah yang terpentinng.” Ilmu ini membahas
hadits-hadits yang secara lahiriyah bertentangan, namun ada kemumkinan dapat
diterima dengan syarat. Jelasnya, umpamanya ada dua hadits yang yang makna
lahirnya bertentangan, kemudian dapat diambil jalan tengah, atau salah satunya
ada yang di utamakan.
Ilmu Ilal Al-Hadits
Ilmu Ilal Al-Hadits
Ilmu ini membahas tetentang sebab-sebab tersembunyinya
yang dapat merusak keabsahan suatu hadits. Misalnya memuttasilkan hadits yang
mungkati’, memarfu’kan hadits yang maukuf dan sebagainya. Dengan demikian
menjadi nyata betapa pentingnya ilmu ini posisinya dalam disiplin ilmu hadits.
4. Ilmu Gharib Al-Hadits
ilmu ini membahas tentang kesamaran makna lafad
hadits. Karena telah berbaur dengan bahasa arab pasar. Ulama yang terdahulu
menyusun kitab tentang ilmu ini adalah abu hasan al-nadru ibn syamil al-mazini,
wafat pada tahun 203 H.
5. ilmu Nasakh Wa Al-Mansukh Al-Hadits
ilmu nasakh wa al-mansukh al-hadits adalah ilmu yang
membahas tentang hadits-hadits yang bertentangan yang hukumnya tidak dapat
dikompromikan antara yang satu dengan yang lain.yang dating dahulu disebut
mansukh (hadits yang dihapus) dan yang datang kemudian disebut nasikh (hadits
yang menghapus).
Pengetahuan ilmu tentang nasikh mansukh ini merupakan ilmu yang sangat penting untuk dan wajib dikuasai oleh seorang yang akan mengkaji hokum syariat. Sebab tidak mungkin bagi seseorang yang akan membahas tentang hokum syar’I sementara ia tidak mengenal dan menguasai ilmu tentang nasikh mansukh..
Pengetahuan ilmu tentang nasikh mansukh ini merupakan ilmu yang sangat penting untuk dan wajib dikuasai oleh seorang yang akan mengkaji hokum syariat. Sebab tidak mungkin bagi seseorang yang akan membahas tentang hokum syar’I sementara ia tidak mengenal dan menguasai ilmu tentang nasikh mansukh..
Nasikh adalah yang menghapus atau membatalkan.
Kadang-kadang nasikh ini di lakukan oleh nabi sendiri, seperti, sabdanya, “Aku
pernah melarang ziarah kubur, lalu sekarang berziarahlah, karena itu akan
mengingattkanmu pada akhirat.”
Pendiri Ilmu Hadits Dirayah adalah Al-Qadhi
Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurahman bin Khalad Ramahumuzi (w.360 H)
Pokok pembahasan ilmu dirayah itu
dua, yaitu :
1. rijal al-sanad
2. jarah-ta’dil.
Dari pembahasan dua ulasan itu muncul penilaian, bahwa
suatu matan hadits dinilai shahih,atau hasan atau dla’if.
Kata penilaian seperti itu biasa disebut Mushthalah al-Hadits.
3. Asbab
Wurud al-Hadits.
Teori ini membahas tentang latarbelakang datangnya
sebuah hadits yang diterima oleh seorang rawi (shahabat).
Pembahasan ini sama seperti ungkapan Ilmu Asbab al-Nuzul dalam
Ulum al-Qur’an. Dalam kaitan ini, wurud al-hadits juga banyak
membahas persesuaian (munasabat) antara satu matan hadits dengan matan
hadits yang lain. Tokoh yang pertama kali membahas tentang Asbab Wurud
al-Hadits adalah Abu Hafsh al-’Ukburi (w. 468 H). Tetapi kitab yang
lebih lengkap adalah Al-Bayan wa al-Tarif fi Asbab Wurud al-Hadits
al-Syarif karya Ibn Hamzah al-Dimasyqi (w. 1120 H).
Nasikh-Mansukh dan Asbab
Wurud al-Hadits adalah dua teori Ilmu Hadits Dirayah yang berdekatan
sasaranya, dan saling menunjang dalam penerapan makna. Nasikh-Mansukhdalam
hadits tidak dapat diketahui tanpa melihat Wurud al-Hadits lebih
dahulu. Hadits yang datang pertama disebut mansukh, dan hadits
berikutnya disebut nasikh. Dua teori itu banyak dibahas oleh
kitab-kitab Ulum al-Hadits.
Jika nasikh-mansukh dan wurud
al-hadits hanya diolah dengan pendekatan tekstualis, seperti
filosofis, atau yuridis, tologis saja, maka ilmu hadits tidak dapat berkembang.
Salah satu model pengembangan masalah ini adalah menggunakan pendekatan
interdisipliner, atau ilmu komunikasi dan ilmu sosial lainnya. Setidaknya ada
dua sistem nilai yang diterapkan pada makna hadits yang berinteraksi, baik
interaksi antara hadits dengan hadits, atau hadits dengan kasus yang
melingkari. Dua sistem itu adalah sistem internal dan sistem eksternal (maa
fi al-hadits dan maa haul al-hadits).
Sistem internal adalah semua sistem nilai yang
dibawakan oleh sebuah hadits, ketika ia diterapkan pada satu makna, atau pada
maksud hadits yang dituju. Nilai itu terlihat ketika hadits itu diberi
interpretasi seperti nilai akidah, hukum fiqh, akhlak, nasihat, do’a dan
sebagainya. Dalam istilah lain, sistem internal mencakup juga pola pikir,
kerangka rujukan, struktur kognitif, atau juga sikap, yang dikandung oleh matan
hadits.
Sedangkan sistem eksternal terdiri atas unsur-unsur
yang ada dalam lingkungan di luar isi matan hadits. Lingkungan itu, termasuk
struktur yang mendorong munculnya matan hadits, atau kejadian yang melatarbelakangi
tampilnya sebuah hadits, atau jawaban Rasulullah yang muncul karena pertanyaan
sahabat. Lebih dari itu, pemecahan sebuah hadits yang ditulis oleh seorang
perawi pun bisa diterima berdasarkan latarbelakang munculnya pemecahan itu.
Ulama pertama yang membukukan ilmu hadis dirayah
adalah Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi (265-360 H) dalam kitabnya, al-Muhaddis
al-Fasil bain ar-Rawi wa al- wa ‘iz (Ahli Hadis yang Memisahkan Antara Rawi dan
Pemberi Nasihat). Sebagai pemula, kitab ini belum membahas masalah-masalah ilmu
hadis secara lengkap. Kemudian muncul al-Hakim an-Naisaburi (w. 405 H/1014 M)
dengan sebuah kitab yang lebih sistematis, Ma’rifah ‘U1um al-Hadis (Makrifat
Ilmu Hadis).
2. Ilmul
Jarhi Wat Takdil
Ilmu Jarhi Wat Takdir, pada hakekatnya merupakan suatu
bagian dari ilmu rijalil hadis. Akan tetapi, karena bagian ini dipandang
sebagai yang terpenting maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang berdiri
sendiri. Yang dimaksud dengan ilmul jarhi wat takdil ialah: “Ilmu yang
menerangkan tentang catatan-catatan yang dihadapkan pada para perawi dan
tentang penakdilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata
yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu. ” Ilmu Jarhi
wat Ta’dil dibutuhkan oleh para ulama hadits karena dengan ilmu ini akan dapat
dipisahkan, mana informasi yang benar yang datang dari Nabi dan mana yang
bukan.
Mencacat para perawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak terpedaya dengan riwayat-riwayatnya), telah tumbuh sejak zaman sahabat.Menurut keterangan Ibnu Adi (365 H) dalam Muqaddimah kitab AI-Kamil, para ahli telah menyebutkan keadaan-keadaan para perawi sejak zaman sahabat.
Mencacat para perawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak terpedaya dengan riwayat-riwayatnya), telah tumbuh sejak zaman sahabat.Menurut keterangan Ibnu Adi (365 H) dalam Muqaddimah kitab AI-Kamil, para ahli telah menyebutkan keadaan-keadaan para perawi sejak zaman sahabat.
Di antara para sahabat yang menyebutkan keadaan
perawi-perawi hadits ialah Ibnu Abbas (68 H), Ubadah ibnu Shamit (34 H), dan
Anas ibnu Malik (93 H).
Di antara tabi’in ialah Asy Syabi(103 H), Ibnu Sirin (110H), Said Ibnu AI-Musaiyab (94 H). Dalam masa mereka itu, masih sedikit orang yang dipandang cacat. Mulai abad kedua Hijrah baru ditemukan banyak orang-orang yang lemah. Kelemahan itu adakalanya karena meng-irsal-kan hadits, adakalanya karena me- rafa-kan hadits yang sebenarnya mauquf dan adakalanya karena beberapa kesalahan yang tidak disengaja, seperti Abu Harun AI-Abdari (143 H).
Di antara tabi’in ialah Asy Syabi(103 H), Ibnu Sirin (110H), Said Ibnu AI-Musaiyab (94 H). Dalam masa mereka itu, masih sedikit orang yang dipandang cacat. Mulai abad kedua Hijrah baru ditemukan banyak orang-orang yang lemah. Kelemahan itu adakalanya karena meng-irsal-kan hadits, adakalanya karena me- rafa-kan hadits yang sebenarnya mauquf dan adakalanya karena beberapa kesalahan yang tidak disengaja, seperti Abu Harun AI-Abdari (143 H).
Kitab bidang ilmu ini yang terkenal diantaranya “Al
Jarhu wat Ta’dil” karya Abdur Rahman Bin Abi Hatim Ar Razy.
4. Ilmun
nasil wal mansuh
ilmu yang menerangkan hadis-hadis yang sudah
dimansuhkan dan yang menasihkannya.Apabila didapati suatu hadits yang maqbul,
tidak ada yang memberikan perlawanan maka hadits tersebut dinamai Muhkam. Namun
jika dilawan oleh hadits yang sederajatnya, tetapi dikumpulkan dengan mudah
maka hadits itu dinamai Mukhatakiful Hadits. Jika tak mungkin dikumpul dan
diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu, dinamai Nasih dan
yang terdahulu dinamai Mansuh.
Banyak para ahli yang menyusun kitab-kitab nasih dan mam’uh ini, diantaranya Ahmad ibnu Ishaq Ad-Dillary (318 H), Muhammad ibnu Bahar AI-Asbahani (322 H), Alunad ibnu Muhaminad An-Nah-has (338 H) Dan sesudah itu terdapat beberapa ulama lagi yang menyusunnya, yaitu Muhammad ibnu Musa Al-Hazimi (584 H) menyusun kitabnya, yang dinamai Al-lktibar. Kitab AI-Iktibar itu telah diringkaskan oleh Ibnu Abdil Haq (744 H)
Banyak para ahli yang menyusun kitab-kitab nasih dan mam’uh ini, diantaranya Ahmad ibnu Ishaq Ad-Dillary (318 H), Muhammad ibnu Bahar AI-Asbahani (322 H), Alunad ibnu Muhaminad An-Nah-has (338 H) Dan sesudah itu terdapat beberapa ulama lagi yang menyusunnya, yaitu Muhammad ibnu Musa Al-Hazimi (584 H) menyusun kitabnya, yang dinamai Al-lktibar. Kitab AI-Iktibar itu telah diringkaskan oleh Ibnu Abdil Haq (744 H)
5. Ilmu
Asbabi Wuruddil Hadis
Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi yang menurunkan
sabdanya dan masa-masanya Nabi menurunkan itu. Menurut Prof Dr. Zuhri ilmu
Asbabi Wurudil Hadits adalah ilmu yang menyingkap sebab-sebab timbulnya hadits.
Terkadang, ada hadits yang apabila tidak diketahui sebab turunnya, akan
menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan.
Penting diketahui, karena ilmu itu menolong kita dalam
memahami hadits, sebagaimana ilmu Ashabin Nuzul menolong kita dalam memahami
Al-Quran. Disamping itu, ilmu ini mempunyai fungsi lain untuk memahami ajaran
islam secara komprehensif. Asbabul Wurud dapat juga membantu kita mengetahui
mana yang datang terlebih dahulu di antara dua hadits yang “Pertentangan”.
Karenanya tidak mustahil kalau ada beberapa ulama yang tertarik untuk menulis
tema semacam ini.Misalnya, Abu Hafs Al- Akbari (380-456H), Ibrahim Ibn Muhammad
Ibn Kamaluddin, yang lebih dikenal dengan Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy
(1054-1120H) denagn karyanya Al-Bayan Wa Al Ta’rif Fi Asbab Wurud Al- hadits
Al-Syarif.
UIama yang mula-mula menyusun kitab ini dan kitabnya ada dalam masyarakat iaIah Abu Hafas ibnu Umar Muhammad ibnu Raja Al-Ukbari, dari murid Ahmad (309 H), Dan kemudian dituliskan pula oleh Ibrahim ibhu Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah Al Husaini (1120 H), dalam kitabnya AI-Bayan Wat Tarif yang telah dicetak pada tahun 1329 H.
UIama yang mula-mula menyusun kitab ini dan kitabnya ada dalam masyarakat iaIah Abu Hafas ibnu Umar Muhammad ibnu Raja Al-Ukbari, dari murid Ahmad (309 H), Dan kemudian dituliskan pula oleh Ibrahim ibhu Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah Al Husaini (1120 H), dalam kitabnya AI-Bayan Wat Tarif yang telah dicetak pada tahun 1329 H.
13. Ilmu
Mukhtaliful Hadits
Ilmu yang membahas hadits hadits yang menurut lahirnya
saling bertentangan, untuk dikompromikan, sebagaimana halnya membahas hadits
hadits yang sukar dipahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan
kesukarannya dan menjelaskan hakikat-hakikatnya.
Kitab yang terkenal dalam bidang ini diantaranya
“Musykilu’l Hadits wa Bayanuhu” karya Abu Bakr Muhammad Bin Al Hasan (Ibnu
Furak) Al Anshary Al Asbihany.
0 komentar:
Posting Komentar