Makalah I'jaz (Kemu'jizatan Al-Qur'an)
I’JAZ (KEMU’JIZATAN) ALQURAN
A. Pendahuluan.
Setiap rasul
dan nabi selalu dibekali dengan mu’jizat yang akan menjadi bukti kebenaran
kenabiannya atau kerasulannya, seperti Nabi Isa yang bisa mengobati segala
penyakit dan menghidupkan orang yang mati, atau seperti Nabi Sulaiman yang bisa
berkomunikasi dengan segala binatang. Unsur luar
biasa yang terkandung dalam mu’jizat ini dimaksudkan sebagai dorongan bagi
manusia untuk berpikir.[1]
Sejarah mengatakan
bahwa mu’jizat seorang nabi atau rasul merupakan hal yang sesuai dengan
zamannya, atau hal yang sedang berkembang dan digandrungi oleh masyarakat yang
diseru untuk beriman kepada Allah, seperti merubah tali menjadi ular ketika
masyarakat Mesir kala itu sedang menggandrungi sihir, atau keindahan bahasa
Alquran untuk orang Arab yang sangat menyukai bahasa yang indah, fasih dan baligh.[2]
Alquran yang menjadi mu’jizat Nabi Muhammad SAW adalah bukti terkuat untuk
saat itu atas kebenaran risalah Muhammad, keindahannya yang merupakan hal yang
paling mudah dicerna oleh orang Arab yang notabene adalah pengagum karya sastra
mengalahkan segala keindahan syair-syair kaum Quraisy. Meskipun sebenarnya
tidak ada lagi alasan bagi orang kafir dan kaum Quraisy Mekkah juga kaum
munafik Yahudi khususnya untuk tidak mempercayai kebenaran seruan Nabi Muhammad
tapi mereka tetap tidak mengakui kebenaran risalah Muhammad.
Dalam
makalah ini, penulis ingin menguraikan tentang I’jaz Alquran tersebut,
aspek-aspek kemu’jizatannya dan beberapa hal yang masih relevan dengan kajian
kemukjizatan Alquran, termasuk tentang sekilas keadaan bangsa Arab pra-risalah
yang begitu menghormati sastra yang juga merupakan salah satu kemukjizatan
Alquran.
B. Bangsa Arab dan Sastra Arab Pra-Risalah.
Bangsa Arab yang hidup di semenanjung Arab adalah bangsa yang harus berusaha
lebih untuk bertahan hidup, hal ini dikarenakan daerah yang tandus yang mereka
diami tidak memberikan sumber kehidupan yang mencukupi. Mereka, mayoritas
merupakan pedagang meskipun tidak juga sedikit yang hidup dari pertanian dan
profesi lainnya.
Perdagangan yang merupakan mayoritas pekerjaan
orang Arab direkam dan dijadikan sebagai bahan ungkapan oleh Alquran. Banyak
kata dan permisalan yang digunakan oleh Alquran “bersumber” dari
istilah-istilah perdagangan seperti mitsqal, mizan, ajr, jaza’, yattajirun,
hisab, robiha, khosiro dan lain sebagainya.[3]
Bangsa Arab
juga merupakan bangsa yang mempunyai minat tinggi terhadap bahasa, mereka
mempunyai kebiasaan mengirimkan anak-anak mereka untuk mempelajari bahasa
kepedalaman. Mereka memberikan apresiasi
yang sungguh besar bagi seseorang yang fasih dan baligh dalam
berbicara. Sastra merupakan salah satu bentuk kehormatan bagi mereka, tak heran
jika beberapa genre sastra berkembang pesat dikalangan bangsa Arab kala itu.[4] Mereka
beradu kebolehan dalam menggubah puisi secara rutin di pasar-pasar atau di
tempat berkumpulnya orang-orang, karya yang paling bagus akan mendapatkan
kehormatan untuk ditempelkan di dinding ka’bah, seorang pujangga akan semakin
terkenal dengan banyaknya mu’alloqot yang ia ciptakan.
Puisi yang
merupakan genre yang paling disenangi biasanya berkisar pada hal, benda atau
kejadian yang kasat mata, seperti wanita, unta, raja atau perang[5], maka tak
heran jika puisi yang mereka gubah haruslah menggunakan kata-kata atau ungkapan
hiperbola -yang tentu tidak terlepas dari unsur kebohongan- untuk memperindah
karyanya.[6]
Ketika Nabi Muhammad SAW membacakan ayat-ayat suci yang indah dari segi
bahasanya untuk saat itu, sontak saja mereka kaget dan mengakui keindahan
susunan kata, fashl, ijaz, surah bayaniyah, balaghah, ma’ani dan badi’nya.
Selain bahasa yang merupakan
keindahan Alquran kala itu juga adalah kandungannya tentang cerita tentang
ummat-ummat terdahulu.
Akan tetapi ketika
keindahan itu disertai dengan pengakuan Muhammad tentang risalah dan agama
baru, meninggalkan agama lama dan berhala, mereka lantas tidak mau mengakui
kebenaran ayat Alquran sebagai firman Tuhan. Kesombongan dan rasa harga diri
mereka membuat mereka menolak ajaran Muhamad. Berbagai tuduhan mereka lontarkan
seperti tukang sihir, tukang tenung, pendongeng dan orang gila yang membuat
sendiri Alquran.[7]
C. Definisi
Mu’jizat.
Kata mu’jizat berasal dari bahasa Arab, ajaza yang merupakan kata
dasarnya berarti lemah, tidak mampu atau tidak kuasa.[8] Kata ini merupakan kata kerja
intransitif (lazim), kemudian dijadikan transitif (muta’addiy)
dengan menambahkan huruf hamzah diawalnya atau dengan menambahkan tadi’efh, hingga
menjadi a’jaza atau ajjaza yang berarti membuatnya lemah atau
menjadikan tidak kuasa.[9] Kata a’jaza inilah yang kemudian dengan
sighat ism fai’l berubah menjadi mu’jiz atau mu’jizatun, yang
menurut etimologi berarti yang melemahkan.
Dalam buku Mukjizat Al-Qur’an, Quraish Shihab lebih lanjut menjelaskan
bahwa pelaku yang melemahkan itu dalam bahasa Arab dinamai dengan معجِز (mu’jiz). Bila kemampuan
pelakunya dalam melemahkan pihak lain sangat menonjol sehingga mampu membungkam
lawan-lawannya, maka ia dinamai معجِزة(mu’jizat).
Tambahan (ة ) pada akhir kata itu mengandung
makna superlatif (mubalaghah).[10]
Mukjizat didefinisikan oleh kebanyakan pakar agama Islam sebagai “suatu hal
atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seorang yang mengaku Nabi,
sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada yang ragu, untuk melakukan
atau membuat hal serupa, namun mereka tidak mampu untuk membuatnya.” Sebagaimana diungkapkan oleh Al-Suyuthi dalam Al- Itqan ;
Menurt Manna Qatthan kata mu’jizat berarti hal yang
luar biasa yang tampak pada seorang rasul ataupun nabi yang tidak mungkin untuk
ditandingi,[12] Louis Ma’luf juga mengatakan hal tidak jauh berbeda dengan
pendapat di atas. Memang tidak
begitu banyak perbedaan yang mendasar tentang defenisi Mu’jizat ini.
Nabi Muhammad diperintahkan oleh Allah Swt.
untuk menantang kaum Quraisy untuk menandingi keindahan Alquran dari segala
sisinya. Paling tidak ada empat ayat yang merupakan tantangan bagi mereka
yang tidak mempercayai kebenaran Alquran saat itu, keempat ayat itu adalah:
و إن كنتم فى ريب مما نزلنا على عبدنا فأتوا بسورة من مثله و
ادعوا شهداءكم من دون الله إن كنتم صادقين ( البقرة : 24 )
Dan jika
kamu (tetap) dalam keraguan tentang Alquran yang kami wahyukan kepada hamba
kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal dengan Alquran itu dan
ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.(
al-Baqarah: 24 )
أم
يقولون افتراه قل فأتوا بسورة مثله و ادعوا من استطعتم من دون الله إن
كنتم صادقين ( يونس : 37 )
Atau (patutkah) mereka mengatakan “ Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah :
“(kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat
seumpanya dan panggilah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk
membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. ( Yunus : 38)
ام
يقولون افتراه قل فأتوا بعسر سور مثله مفتريات و ادعوا من استطعتم من دون الله إن
كنتم صادقين ( هود : 13 )
Bahkan
mereka mengatakan :” Muhammad telah membuat-buat Alquran itu”, katakanlah:”(
kalau demikian ), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat
menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain
Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”.( Hud : 13)
فليأتوا
بحديث مثله إن كانوا صادقين ( الطور : 34 )
Maka
hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal dengan Alquran itu jika
mereka orang-orang yang benar (At-at-Thur : 34)
Tapi ada juga pendapat yang mengatakan bahwa
ayat yang merupakan tantangan untuk membuat tandingan Alquran hanya ada tiga
ayat, dalam arti tiga tingkatan. Seperti Manna Qaththan yang mengatakan
memberikan tiga tingaktan tantangan dengan empat ayat, yang pertama adalah
Al-Isro ayat 88 yang berbunyi:
قل لئن
اجتمعت الإنس و الجن على أن يأتوا بمثل هذا القرأن لا يأتون بمثله و لو كان بعضهم
لبعض ظهيرا
Artinya:
katakanlah:”sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang
serupa dengan Alquran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa
dengannya, sekalipun mereka menjadi pembantu dengan yang lainnya”
Diteruskan dengan membuat
sepuluh surat saja pada surat Hud ayat 13, yang kalau itu juga mereka
tidak mampu maka diteruskan untuk membuat satu surat saja yaitu pada surat
Yunus ayat 38 yang kemudian diulangi pada surat al-Baqarah ayat 24.[13]
C. Sisi Kemu’jizatan Al-Qur’an.
Sisi kemu’jizatan
Alquran ini adalah salah satu hal yang sangat variatif, banyak terdapat
perbedaan pendapat tentang apa saja yang menjadi mu’jizat Alquran itu, sebagian
mengatakan bahasanya dan kandungannya, sebagian lagi mengatakan bahkan satu
hurufnya saja merupakan mu’jizat, kandungannya terhadap teori-teori ilmiah.
Dalam buku “Membumikan
Alquran”, Quraish Shihab menjelaskan paling tidak ada tiga aspek dalam
Alquran yang dapat menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw., sekaligus
menjadi bukti bahwa informasi atau petunjuk yang disampaikannya adalah
benar-benar bersumber dari Allah swt. Ketiga aspek tersebut akan lebih
meyakinkan lagi, bila diketahui bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang yang
pandai membaca dan menulis, ia juga tidak hidup dan bermukim di tengah-tengah
masyarakat yang relatif mengenal peradaban, seperti Mesir, Romawi atau Persia.
Ketiga aspek tersebut adalah pertama, aspek keindahan dan ketelitian
redaksi-redaksinya. Kedua, pemberitaan-pemberitaan gaibnya, dan yang ketiga
isyarat-isyarat ilmiahnya.[14]
Bila diteliti
lebih lanjut pendapat para mufassirin tentang i’jaz Al-Quran, maka akan
didapati pendapat mereka yang sangat variatif. Sebagian mufassirin, diantaranya
Imam Fakruddin, az-Zamlukany, Ibn Hazam, al-Khutabi berpendapat bahwa
kemukjizatan Al-Quran karena fashahat dan balaghat–nya secara keseluruhan.
Sedangkan yang lain seperti al-Marakasy berpendapat bahwa I’jaz tersebut
disebabkan ia memiliki unsur-unsur keteraturan, kesinambungan dan penyusunan
yang berbeda dengan kaedah-kaedah bahasa konvensional kalam Arab. Dalam hal
ini, sulit bagi mereka (orang Arab) untuk mengetahui rahasia-rahasia i’jaz
Al-Quran, baik mereka lihat dari sisi syairnya, balaghatnya, khitabnya
dan lain sebagainya, sekalipun diantara mereka adalah orang-orang yang ahli
dalam sastra dan bahasa.[15]
Ada juga sebagian
mufassir yang lain melihat I’jaz Alquran tersebut dari sisi prinsip-prinsip dan
ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya, khususnya yang berhubungan dengan
persoalan-persoalan sosial (al-ijtima’iyyat), politik (al-siyasat)
dan norma-norma (al-akhlaqiyat). Aspek-aspek tersebut bagi masyarakat
Arab saat itu adalah sesuatu yang belum pernah terpikirkan mereka sebelumnya.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Alquran membawa informasi-informasi baru
yang di luar perkiraan manusia. Dari sini jelas bahwa Alquran mengandung
dasar-dasar dan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, yang pada dasarnya tidak
mungkin dihasilkan oleh seorang Muhammad yang “ummi” (menurut sebagian
besar ulama)[16]
Al-Rumani, dalam buku Salasu
Rasail Fi I’jaz al-Quran melihat kemukjizatan Alquran dari tujuh macam
segi, yaitu: [17]
- Tidak adanya yang mampu menyaingi ( ترك
المعارضة ).
- Tantangan Alquran yang global (semua manusia dan
jin) ( التحدى للكافة).
- Adanya pemalingan ( الصرفة) .
- Balaghah Alquran البلاغة )).
- Berita-berita gaib yang akan datang (الأخبار
الصادقة عن الأمور المستقبلة ).
- Pembatalan kebiasaan-kebiasaan ( نقض
العادة).
- Qiasnya terhadap segala mukjizat (
قياسه بكل معجزة ).
Kemu’jizatan
Alquran ini kemudian dirangkum oleh Manna Qaththan, menurutnya mu’jizat Alquran
terletak pada kata-katanya, hurufnya, susunannya, bayannya dalam memberikan
informasi, nazhmnya, kandungannya tentang ilmu, hukum dan kekuatannya
dalam menjaga hak asasi manusia. Banyak orang salah yang menganggap bahwa
Alquran juga mengandung seluruh teori ilmiah, padahal teori ilmiah itu bersifat
dinamis, sedangkan yang merupakan mu’jizatnya dalam hal ini adalah kekuatannya
dalam mengajak manusia untuk berfikir dan mencari ilmu.[18]
Menurut kami
bahwa salah satu bentuk kemu’jizatan ini adalah keabadiannya, keeksisannya
hingga zaman sekarang, begitu juga kekuatannya untuk menjadi beberapa sumber
ilmu, seprti Fikih, Ushul Fikih, Nahwu, Sharf, Bayan, Ma’ani dan
Badi’. Denga kata lain tidak ada
suatu tulisanpun yang paling diminati orang di muka bumi ini menyaingi Alquran
hingga menghasilkan beberapa disiplin Ilmu. Juga kemampuannya menjelaskan
sesuatu dan melukiskannya dengan sarana terbaik, menerangkan sesuatu
dengan makna yang mudah difikirkan, atau menjelaskan suasana psikologik dengan
imajinatif dengan sesuatu yang dapat diraba dan dirasakan dengan konkret.[19]
Lalu apakah
semua kandungan Alquran dimaksudkan dalam tantangan untuk membuat tandingan
Alquran ketika turunnya?” tentu saja tidak karena bangsa Arab kala itu tidaklah
mengenal kandungan-kandungan Alquran, seperti hukum, ilmu dan lain sebagainya.
Mu’jizat bahasa adalah hal yang paling utama
dalam tantangan ini,[20] karena unsur itulah yang menjadi perhatian kaum
Quraysy saat itu. Keindahan eksternal maupun internalnya merupakan hal yang
dipuji sekaligus diingkari oleh kaum Quraysy.
Uslubnya,
tasybih, majaz, kinyah, fasohah, balaghah, ma’ani, qashr, washl, fashl, ijaz, irama (musiqul
uslub, musiqul wazan dan musiqul fawasil), saja’, tajanus, husnut
taqsim, jinas, tarshi’, tasythir, raddul I’jaz alas shudur,
tauriyah,tibaq, muqabalah[21] dan
lain sebagainya adalah unsur-unsur yang menjadi keindahan bahasa Alquran dalam
pandangan ilmu Balaghah. Seperti ayat
:
يوم تقوم الساعة يقسم المجةمون ما لبسوا غير ساعة
# فأما اليتيم فلا نقهر و أما السائل فلا تنهر #
إن الأبرار لفى نعيم و إن الفجار لفى جحيم # و تخشى الناس و
الله أحق أن تخشاه # و هو الذى يتوفاكم بالليل و يعلم ما جرحتم
بالنهار # و تحسبهم أيقاظا و هم رقودا # لكيلا تأسوا على ما
فاتاكم و لا تفرحوا على ما أتاكم
Selain itu menurut Manna Qaththan bahwa
informasi tentang ummat-ummat terdahulu juga merupakan unsur dalam tantangan
Allah.[22]
Dan menurut sebagian besar ulama keummiyan rasul juga terkandung
didalamnya.[23]
Dari
beberapa perbedaan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kemukjizatan
Alquran tidak hanya terbatas pada kadar tertentu saja, akan tetapi kemukjizatannya
terletak pada totalitasnya sebagai Alquran, baik bahasa, pemilihan huruf,
pemilihan kata, pemilihan kalimat, ritme, kandungannya, cara turunnya,
kekekalannya dan kemampuannya membangkitkan minat pengkaji untuk mengkajinya.
Lebih rinci lagi, Manna Khalil al-Qatthan
berpendapat bahwa secara garis besarnya, kemukjizatan Alquran itu dapat dilihat
dari beberapa aspek berikut:
Aspek Bahasa.
Aspek Ilmiah.
Banyak orang terjebak dalam kesalahan ketika
mereka menginginkan agar Alquran mengandung segala teori ilmiah. Setiap lahir
sebuah teori baru, mereka mencari ayat yang diklaim telah terlebih dahulu
menemukan teori tersebut.
Keilmiahan
Alquran tidaklah terletak pada cakupannya terhadap teori-teori ilmiahan yang
selalu berubah karena memang pada dasarnya teori itu akan terus berkembang
sesuai dengan metode yang dipakai dalam membuktikan teori tersebut, sementara
Alquran tidaklah berubah. Dengan begitu, menurut kami
bahwa keilmiahan Alquran tersebut terletak pada dorongannya untuk berfikir dan
menggunakan akal.
Aspek Hukum.
Allah Swt. telah banyak meletakkan
fondasi-fondasi hukum di dalam Alquran. Ini juga merupakan salah satu
kemukjizatan Alquran yang tidak bisa diabaikan. Alquran turun pada masa bangsa
Arab “hanya” memikirkan perang, tanpa ada kepedulian terhadap kehidupan sosial.
Pada masa
turunnya Alquran, kita banyak mengenal nama tersohor dalam bidang sastra,
perang, ekonomi dan politik, tapi baik di Mekkah maupun Madinah tidak ada
seorangpun yang begitu mencuat namanya dalam bidang hukum kecuali ia memang
seorang tokoh yang mengambil dasar-dasar hukumnya dari Alquran, seperti Mu’adz
b. Jabal, Abu Musa al-Asy’ari dan sebagainya.
D. Arah Baru Dalam Memahami Alquran.
Apa yang ditemukan manusia akhir-akhir ini
membuat mereka terheran-heran, hal ini disebabkan kesesuaian beberapa fenomena
zaman sekarang ini dengan prediksi-prediksi atau kandungan Alquran, sebut saja
tentang sidik jari yang telah lama diisyaratkan oleh Alquran dalam uraian
tentang proses terjadinya manusia.
Hal ini mungkin akibat dari krisis yang melanda
ummat Islam dalam berfikir bukan karena krisis metode berpikir, karena ummat
Islam telah mempunyai dasar metode berpikir.
Yang perlu dipikirkan pada masa sekarang ini
adalah adanya jaminan-jaminan individu, pemikiran materi, undang-undang dan
seterusnya bagi para cendikiawan, fukaha.
Ummat perlu memikirkan bagaiman caranya memahami
Alquran dengan humanis dan universal, hingga melahirkan kesimpulan dan
nilai-nilai yang humanis dan universal, bukan hanya sebuah nostalgia akan
kemajuan peradaban ummat Islam pada masa lalu. Tidak dengan serta merta
mencari-cari ayat untuk mengklaim bahwa sebuah temuan yang ditemukan oleh orang
non-Muslim telah ada dalam Alquran, yang kemudian terkesan bagai sebuah takwil
yang ba’id.
Kita tidak mengingkari kemungkinan bahwa Alquran
telah menjelaskan beberapa hal yang akan terjadi di dunia ini. Tapi bagaimana
memandang Alquran sebagai kitab yang penuh mukjizat hingga bisa dijelaskan
dengan gamblang memerlukan usaha lain, yang kesemua itu memerlukan aktivitas berfikir
yang memadai.
F. Penutup.
Pada dasarnya mukjizat itu merupakan sesuatu
yang digunakan untuk melemahkan orang lain. Istilah ini yang kemudian
dipopulerkan oleh kaum muslimin diberi konotasi sebagai sebuah kejadian luar
biasa yang muncul pada diri seorang nabi atau rasul, yang tidak bisa ditiru,
dipelajari dan dilawan.
Ada beberapa perbedaan pendapat dalam menetukan
apa sajakah yang menjadi kemukjizatan Alquran tersebut. Akan tetapi secara
garis besar dapat dikatakan bahwa semua menyetujui bahwa termasuk dari
kemukjizatan Alquran adalah bahasa dan kandungannya.
Lebih lanjut lagi bahwa Alquran sebagai
totalitas juga merupakan mukjizat tersendiri. Totalitas Alquran itu dapat
dilihat sebagai sebuah kitab suci yang mempunyai bahasa yang sungguh indah, mempunyai
kandungan yang sangat variatif, dalam, imajinatif (membangkitkan daya khayal
pembaca), mampu membangkitkan minat ilmiah yang menghasilkan sebuah rumpun ilmu
yang terdiri dari berbagai macam ilmu, sebagai sumber hukum yang masih dianggap
relevan hingga sekarang, bahkan hingga hari kiamat, dan sebagainya.
Daftar Pustaka
Al-Baqilany,
Muhammad Abu Bakar, I’jaz Al-Quran.Kairo: Daar al-Ma’arif, t.t..
Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. Yogyakarta
: Forum kajian dan Budaya, 2001.
Banna,
Haddam, Al-Balaghah
Fi Ilmi Al-Ma’ani. Ponorogo : Darussalam,1991.
Esposito,
John.L, Dunia Islam
Modern I, terj. Eva dkk . Bandung
: Mizan, 2002.
Ghufron, M. Al-Balaghah
Fi Ilmi Al-Bayan. Ponorogo : Darussalam,1991.
_________, Al-Balagahah
Fi Ilm Badi’. Ponorogo : Darussalam,1991.
Hasyimi, Ahmad, Jawahir
Al-Adab. Beirut :
Daar Kutub, 1996.
Jabbar , Abu
Bakar, Aysarut Tafasir, jil. I. Beirut : Daar Kutub
Al-Ilmiyah, 1995.
Khalil, Munawwar. Al-Qur’an
Dari Masa ke Masa. Solo:Ramadhani, 1985.
Makdisi, Goerge. The Rise
Of Humanism In Classical Islam And The Chiristian West . Edinburgh :
Edinburgh University Press, 1990.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-munawwir. Yogyakarta : Pustaka
Progressif, 1984.
Ma’luf, Louis. al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-A’lam. Beirut
: Daar Masyriq, 1982.
Salam, Muhammad Zaglul dan Muhammad Khalfullah Ahmad, Salasu Rasail Fi
I’jaz Al-Quran: Li al- Rumani Wa al-Khuthabi Wa Abdul Qadir al-Jurjani. Mesir:
Dar al-Ma’arif, t.t.
Shihab, Quraish, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1992.
______________, Mukjizat
Al-Quran: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiyah dan Pemberitaan Gaib.
Bandung: Mizan, 1997.
Sholih, Subhi, Membahas
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta : pustaka Firdausi,
2000.
Suyuthi, Jalaluddin, Al-Itqan
Fi Ulum Al-Quran, Jil. IV. Kairo: Maktabah Dar Al-Turast, t.t.h.
Qatthan, Manna, Mabahits Fi
Ulumil Qur’an. Mesir: Mansyuroti asril Hadist, tth.
[1] Munawwar Khalil, Al-Qur’an Dari Masa ke Masa (Solo:Ramadhani,
1985) hal. 59.
[2] Kesenangan orang Arab terhadap sastra khususnya pada
genre pusis dapat ditelusuri dari kata aroba itu sendiri, Goerge Makdisi
mengatakan bahwa aroba berarti orang yang bebicara dengan lancar,
fasih tanpa kesalahan dan tanpa terputus-putus, lihat Goerge Makdisi, The
Rise Of Humanism In Classical Islam And The Chiristian West (Edinburgh :
Edinburgh University Press, 1990) hal. 120. lihat juga Ahmad Warson
Munawwir, Al-munawwir (Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1984) hal. 911.
dan Louis Ma’luf, Al-Munjid Fi Al-Lughah Wa Al-A’lam (Beirut :
Daar Masyriq, 1982). Hal. 493.
[3] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi
Sejarah Al-Qur’an (Yogyakarta : Forum kajian dan Budaya, 2001) hal. 11.
[5] Untuk contoh puisi-puisi
ini silahkan lihat A.Hasyimi, Jawahir Al-Adab, (Beirut: Daar Kutub,
1996) hal. 331.
[6] Munawwar Khalil, Al-Qur’an, hal.
69.
[7] Manna Qatthan, Mabahits Fi
Ulumil Qur’an (Mesir: Mansyuroti asril Hadist, tth) hal. 260.
[8] Ahmad Warson, Al-Munawwir, hal.
898. lihat juga Louis Ma’luf, Al-Munjid, hal. 488.
[9] Ibid.
[10] Lihat, M. Quraish Shihab,
Mukjizat Al-Quran: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiyah dan
Pemberitaan Gaib, Cet. IV (Bandung: Mizan, 1997), h. 23
[11] Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Itqan
Fi Ulum Al-Quran (Kairo: Maktabah Dar Al-Turast, t.t.), Jilid ke-4, h. 3.
[12] Manna, Mabahits, hal. 257.
[13] Manna, Mabahits, hal. 259.
[14] Quraish Shihab, Membumikan
Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. XXIII
(Bandung: Mizan, 1992), h. 29-32.
[15] Lebih lanjut al- Suyuthi, Al-Itqan,
h. 7-12. Lihat juga, Muhammada Abu Bakar Al-Baqilany, I’jaz Al-Quran
(Kairo: Daar al-Ma’arif, t.t.), h. 15. Al-Baqilany sendiri melihat sisi
kemukjizatan Al-Quran itu dari tiga sisi, yaitu: Pertama, sisi
pemberitaannya yang gaib (akhbar an algaib). Kedua, karena ke-ummi-an
Rasul. Ketiga, susunan dan keteraturan bahasanya yang luar biasa dan
menakjubkan.
[16] Manna, Mabahits, hal.
260.
[17] Muhammad Zaglul Salam
dan Muhammad Khalfullah Ahmad, Salasu Rasail Fi I’jaz Al-Quran: Li al-
Rumani Wa al-Khuthabi Wa Abdul Qadir al-Jurjani, Cet.3. (Mesir: Dar al-Ma’arif, t.t.), h. 75.
[18] Manna, Mabahits, hal. 260.
[19] Subhi Sholih, Membahas Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus (jakarta : pustaka Firdausi, 2001)
hal. 427.
[20] Subhi Sholih, Membahas, hal.
427.
[21] Istilah-istilah diatas
adalah term dalam ilmu Bayan, Ma’ani dan Badi’. Ilmu Bayan adalah
ilmu metode pendeskripsian dengan berbagai cara, tujuannya adalah agar
perkataan dapat dipahami secara jelas, karenanya disebut ilmu Bayan. Ilmu ini
mempelajari tentang uslub (gaya bahasa), Gambaran Deskriptif (shurah
bayaniyah) seperti alegoris (tasybih) majaz dan kinayah.
Sedangkan ilmu Ma’ani adalah dasar-dasar untuk mengetahui keadaan dan keindahan
perkataan sesuai dengan bentuk dan konteks kalimat. Ilmu ini mempelajari
kretria perkataan yang baligh dan fasih (Fashahah wa balahg
Al-kalam), kalimat khabar dan insya’, qashr, fashl. Washl,ijaz,ithnab
dan musawah. Ilmu Badi’. Adalah ilmu yang mempelajari
keindahan internal dan eksternal sebuah kalimat dengan tetap menjaga kejelasan
arti. Dalam ilmu ini diplejari tentang irama, gaya bahasa, keindahan struktur
(keindahan eksternal) dan keindahan Arti (keindahan internal). Untuk lebih
jelasnya silahkan lihat M.Ghufron, Al-Balaghah Fi Ilmi Al-Bayan (Ponorogo :Darussalam, 1991) hal. 99-102. juga Haddam Banna, Al-Balaghah Fi
Ilmi Al-Ma’ani (Ponorogo
: Darussalam,1991) hal. 80-81. dan M.Ghufron, Al-Balagahah Fi
Ilm Badi’ (Ponorogo
: Darussalam, 1991) hal.
81-82.
[22] Manna, Mabahits, hal
260.
[23] Lihat Abu Bakar Jabbar, Aysarut
Tafasir (Beirut : Daar Kutub Al-Ilmiyah, 1995) jil. I, hal. 34.
0 komentar:
Posting Komentar