harta warisan

A.    PENDAHULUAN

Membicarakan faraidh atau kewarisan berarti membicarakan hal ihwal peralihan harta dari orang yang telah mati kepada orang yang masih hidup. Dengan demikian fiqh mawarits mengandung arti ketentuan yang berdasar kepada wahyu Allah yang mangatur hal ihwal peralihan harta dari seseorang yang telah mati kepada orang yang masih hidup.
Ketentuan agama berkenaan dengan hal tersebut disebut dengan beberapa nama, baik dalam literatur yang berbahasa Arab maupun dalam bahasa indonesia ; mawarist, tirkah, warists, faraidh dalam bahasa Arab. Perbedaan dalam penamaan tersebut tergantung pada apa yang di jadikan titik pandang dalam pembahasan. Bila yang di pandang adalah orang orang yang berhak menerima harta dari mayyit itu, ia di sebut hukum waris dalam bahasa indonesia atau Fiqh Al-Warits dalam bahasa arab. Bila yang dijadikan titik pandang adalah harta yang akan beralih kepada ahli waris , maka ia disebut hukum warisan atau hukum harta pusaka ; atau mirats (jamaknya mawarits) atau tirkah. Bila yang jadikan titik pandang adalah bagian bagian yamg diterim ahli waris, ia disebut faraidh.













B.     PEMBAHASAN

1.      Definisi Warisan
Hukum kewarisan yang disebut faraidh itu dalam pandangan islam juga disebut sebagai ilmu yang mesti dipelajari dan diajarkan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi dalam hadist dari Abu Hurairah menurut riwayat ibnu Majah dan Dar al-Quthniy :
pelajarilah faraidh dan ajarkanlah dia, karena dia merupakan separuh dari ilmu.” [1]
Menyelesaikan harta orang yang sudah mati sesuai dengan ketentuan yang di tetapkan Allah itu hukumnya adalah wajib. Kewajiban ini dapat di pahami di satu sisi dalam pujian Allah terhadap orang orang yang melaksanakan penyelesaian harta warisan sesuai dengan ketentuan Allah; dan di sisi lain dari celaan Allah tersebut. Pujian dan ancaman Allah tersebut terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 13 dan  14 :[2]
(hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan Allah. Barang siapa taat kepada Allah Dan Rasul-Nya niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedangkan mereka kekal didalamnya itulah kemenangan yang besar. Barang siapa yang mendurhakai Allah Dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuannya, niscaya allah akan memasukkannya ke dalam neraka yang mereka kekal di dalamnya dan baginya siksaan yang menghinakan.
Faraidh dalam istilah mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara’. Sedangkan ilmu faraidh oleh sebagian faradhiyun dita’rifkan dengan : “ ilmu fiqh yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka. [3]

Prinsip-prinsip Hukum Kewarisan Islam
Setelah mempelajari definisi Hukum Kewarisan Islam, untuk lebih mendalaminya, perlu mempelajari prinsip-prinsipnya. Beberapa prinsip dalam Hukum Kewarisan Islam adalah sebagai berikut :[4]
1.      Prinsip Ijbari
Yang dimaksud dengan Prinsip Ijbari adalah bahwa peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup, berlaku dengan sendirinya.
Dalam Hukum Kewarisan Islam, dijalankannya Prinsip Ijbari ini berarti, peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya, berlaku dengan sendirinya sesuai dengan kehendak Allah, tanpa bergantung kepada kehendak pewaris atau ahli waris.
2.      Prinsip Individual
Secara singkat dapat dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan Prinsi Individual adalah warisan dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Ini berati setiap ahli waris berhak atas bagian warisan yang didapatkan tanpa terikat oleh ahli waris yang lain. Ada perbedaan yang sangat mencolok, jika Prinsip Individual dalam Hukum Kewarisan Islam dibandingkan dengan salah satu prinsip dalam Hukum Kewarisan Adat, yakni Prinsip Kolektif. Menurut prinsip ini, ada harta
peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagikan kepada para ahli waris. Di beberapa daerah di Indonesia terdapat suatu adat, harta peninggalan yang turun-temurun diperoleh dari nenek-moyang, tidak dapat dibagi-bagi, jadi ahli waris harus menerimanya secara utuh. Misalnya adalah Harta Pusaka di Minangkabau da Tanah Dati di Hitu Ambon. Tiap-tiap anak, turut menjadi anggota (deelgenot) dalam kompleks famili yang mempunyai barang-barang keluarga (harta pusaka) itu. Apabila kompleks famili itu menjadi terlalu besar, maka kompleks famili itu dipecah menjadi dua, masing-masing berdiri sendiri dan menguasai Harta Pusaka.
3.      Prinsip Bilateral
Yang dimaksud dengan Prinsip Bilateral adalah bahwa baik laki-laki maupun perempuan dapat mewaris dari kedua belah pihak garis kekerabatan, yakni pihak kekerabatan laki-laki dan pihak kekerabatan perempuan. Tegasnya, jenis kelamin bukan merupakan penghalang untuk mewaris atau diwarisi dan baik dalam garis lurus ke bawah, ke atas serta garis ke samping, Prinsip Bilateral tetap berlaku.
4.      Prinsip Kewarisan hanya berlaku karena kematian
Hukum Kewarisan Islam menetapkan, bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan sebutan kewarisan berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia. Dengan demikian, tidak ada pembagian warisan sepanjang pewaris masih hidup. Segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung, tidak termasuk ke dalam persoalan kewarisan menurut Hukum Kewarisan Islam.
Hukum Kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan, yaitu kewarisan akibat kematian yang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebut kewarisan ab intestato dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat pada saat pewaris masih hidup.

2.      Pembagian-pembagian ahli waris
Para ahli waris dari Pihak Laki-laki
Yang berhak menjadi ahli waris dari kalangan lelaki ada sepuluh orang:

1 dan 2. Anak laki-laki dan puteranya dan seterusnya ke bawah
Allah swt berfirman:
Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan." (QS An Nisaa’: 11).

3 dan 4. Ayah dan bapaknya dan seterusnya ke atas.
Allah swt berfirman:
"Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan." (QS An Nisaa’: 11).
Dan datuk termasuk ayah, oleh karena itu Nabi saw bersabda:
"Saya adalah anak Abdul Muthallib."

5 dan 6. Saudara dan puteranya dan seterusnya ke bawah.
Allah swt berfirman:
"Dan saudara yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak." (QS An Nisaa’: 176).

7 dan 8.Paman dan anaknya serta seterusnya.
Nabi saw bersabda:
"Serahkanlah bagian-bagian itu kepada yang lebih berhak, kemudian sisanya untuk laki-laki yang lebih utama (dekat kepada mayyit)."

9. Suami.
Allah swt berfirman:
"Dan bagimu (suami-isteri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu." (QS An Nisaa’: 12).



10. Laki-laki yang memerdekakan budak.
 Sabda Nabi saw:       
"Hak ketuanan itu milik orang yang telah memerdekakannya."

Perempuan-perempuan yang Mendapat Warisan
Perempuan-perempuan yang berhak menjadi ahli waris ada tujuh:

1 dan 2. Anak perempuan dan puteri dari anak laki-laki dan seterusnya.
Firman-Nya:
"Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu." (QS An Nisaa’: 11).

3 dan 4. Ibu dan nenek.
Firman-Nya:
"Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masing seperenam." (QS An Nisaa’: 11).

5. Saudara perempuan.
Allah swt berfirman:
"Jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkan itu." (QS An Nisaa’: 176).

6. Istri.
Allah swt berfirman:
"Para isteri memperoleh seperempat dari harta yang kamu tinggalkan." (QS An Nisaa’: 12).

7. Perempuan yang memerdekakan budak.
Sabda Nabi saw:
"Hak ketuanan itu menjadi hak milik orang yang memerdekakannya."


Golongan Ahli Waris
Ahli waris terbagi dua golongan, yaitu :
1.      Dzu fardlin
Dzu fardlin artinya yang mempunyai pembagian tertentu. Pembagian tertentu menurut alquran :
a.       1/2 (setengah)
b.      1/4 (seperempat)
c.       1/8 (seperdelapan)
d.      1/3 (sepertiga)
e.       2/3 (dua pertiga)
f.       1/6 (seperenam)
·         Orang-orang yang berhak mendapat ahli waris
Bagian-bagian yang telah ditetapkan dalam Kitabullah Ta’ala ada enam: (pertama) separuh, (kedua) seperempat, (ketiga) seperdelapan, (keempat) dua pertiga, (kelima) sepertiga, dan (keenam) seperenam.

Ø  . Yang dapat 1/2:
1. Suami yang dapat seperdua (dari harta peninggalan isteri), bila si mayyit tidak meninggalkan anak. Allah swt berfirman: "Dan kamu dapat separuh dari apa yang ditinggalkan isteri-isteri kamu, jika mereka tidak meninggalkan anak." (QS An Nisaa’: 12).

2. Seorang anak perempuan.
Firman-Nya: "Dan jika (anak perempuan itu hanya) seorang, maka ia dapat separuh."
 (QS An Nisaa’: 11).

3.Cucu perempuan
karena ia menempati kedudukan anak perempuan menurut ijma’ (kesepakatan) ulama’. Ibnu Mundzir berkata, "Para ulama’ sepakat bahwa cucu laki-laki dan cucu perempuan menempati kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan. Cucu laki-laki sama dengan anak laki-laki, dan cucu perempuan sama dengan anak perempuan, jika si mayyit tidak meninggalkan anak kandung laki-laki." (Al Ijma’ hal. 79)

4 dan 5 Saudara perempuan seibu dan sebapak dan saudara perempuan sebapak.
Firman-Nya: "Jika seorang meninggal dunia, padahal ia tidak mempunyai anak, tanpa mempunyai saudara perempuan, maka saudara perempuan dapat separuh dari harta yang ia tinggalkan itu." (QS An Nisaa’: 176)

Ø  Yang dapat 1/4 ; dua orang:

1.      Suami dapat seperempat
jika isteri yang wafat meninggalkan anak. Firman-Nya: "Tetapi jika mereka meninggalkan anak, maka kamu dapat seperempat dari harta yang mereka tinggalkan." (QS An Nisaa’: 12).

2.      Isteri
jika suami tidak meninggalkan anak. Firman-Nya: "Dan isteri-isteri kamu mendapatkan seperempat dari apa yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak meninggalkan anak." (QS An Nisaa’: 12).

Ø  Yang dapat 1/8; hanya satu (yaitu):
Istri
dapat seperdelapan, jika suami meninggalkan anak. Firman-Nya: "Tetapi jika kamu tinggalkan anak, maka isteri-isteri kamu dapat seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan." (QS An Nisaa’: 12).

Ø  Yang dapat 2/3; empat orang
1 dan 2. Dua anak perempuan dan cucu perempuan (dari anak laki-laki).
Firman-Nya: "Tetapi jika anak-anak (yang jadi ahli waris) itu perempuan (dua orang) atau lebih dari dua orang, maka mereka daat dua pertiga dari harta yang ditinggalkan (oleh bapaknya)." (QS An Nisaa’: 11).
3 dan 4. Dua saudara perempuan seibu sebapak dan dua saudara perempuan sebapak.
Firman-Nya: "Tetapi jika adalah (saudara perempuan) itu dua orang, maka mereka dapat dua pertiga dari harta yang ia tinggalkan." (QS An Nisaa’: 176).



Ø  Yang dapat 1/3; dua orang:

1.      Ibu, jika ia tidak mahjub
Firman-Nya: "Tetapi jika si mayyit tidak mempunyai anak, dan yang jadi ahli warisnya (hanya) ibu dan bapak, maka bagi ibunya sepertiga." (QS An Nisaa’: 11).

2.      Saudara seibu (saudara tiri) dan seterusnya
Firman-Nya: "Dan jika si mayyit laki-laki atau perempuan tak meninggalkan anak dan tidak (pula) bapak, tetapi ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu), maka tiap-tiap orang dari mereka berdua itu, dapat seperenam, tetapi jika saudara-saudara itu lebih dari itu maka mereka bersekutu dalam sepertiga itu." (QS An Nisaa’: 12).

Ø  Yang dapat 1/6; ada tujuh orang:

1.      Ibu dapat seperenam, jika si mayyit meninggalkan anak atau saudara lebih dari seorang.
Firman-Nya: "Dan untuk dua orang ibu bapak, bagian masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya dapat sepertiga; jika yang wafat itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya dapat seperenam." (QS An Nisaa’: 11).

2.      Nenek, bila si mayyit tidak meningalkan ibu. Ibnul Mundzir menegaskan, "Para ulama’ sepakat bahwa nenek dapat seperenam, bila si mayyit tidak meninggalkan ibu." (Al Ijma’ hal. 84).


3.      Seorang saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan. Firman-Nya: "Dan jika si mayyit laki-laki atau perempuan itu tidak meninggalkan anak dan tidak (pula) bapak, tetapi ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu), maka tiap-tiap orang dari mereka berdua itu dapat seperenam." (QS An Nisaa’: 12).



4.      Cucu perempuan
jika si mayyit meninggalkan seorang anak perempuan:
yaitu anak perempuan dapat separuh, cucu perempuan dari anak laki-laki dapat seperenam sebagai pelengkap dua pertiga (2/3)

5.      Saudara perempuan sebapak
 jika si mayat meninggalkan seorang saudara perempuan seibu sebapak sebagai pelengkap dua pertiga (2/3), karena dikiaskan kepada cucu perempuan, bila si mayyit meninggalkan anak perempuan.

6.      Bapak dapat seperenam
 jika si mayyit meninggalkan anak.  Firman-Nya: "Dan bagi dua ibu bapaknya; buat tiap-tiap seorang dari mereka seperenam dari harta yang ditinggalkan (oleh anaknya), jika (anak itu) mempunyai anak." (QS An Nisaa’: 11).

7.       Kakek dapat seperenam
bila si mayyit tidak meninggalkan bapak. Dalam hal ini Ibnul Mundzir menyatakan, "Para ulama’ sepakat bahwa kedudukan datuk sama dengan kedudukan ayah." (Al Ijma’ hal. 84).
          
Pengertian 'Ashabah
Menurut bahasa, kata ’ashabah adalah bentuk jama’ dari kata ’aashib, seperti kata thalabah adalah bentuk jama’ dari kata thaalib, (kata ’ashabah) yang berarti anak-anak laki-laki seorang dan kerabatnya dari ayahnya Segenap orang yang termasuk ’ashabah berhak juga mendapatkan harta warisan seluruhnya, bila tidak didapati seorangpun dari ashabul furudh
3.      Sebab-sebab menerima warisan
Sebab-sebab menerima warisan ada tiga :[5]
a.       Nasab (keturunan)
b.      Wala’ (memerdekakan budak)
c.       Pernikahan

4.      Rukun dan syarat kewarisan
Seseorang baru berhak menerima warisan bila telah terpenuhi rukun dan syarat kewarisan. Adapun rukun kewarisan itu adalah :[6]
a.       Orang yang tela mati dan meninggalkan harta yang akan beralih kepada orang yang masih hidup disebut pewaris atau al-muwarrist.
b.      Harta yang beralih dari orang yang mati kepada yang masih hidup yang disebut harta warisan atau mawruts.
c.       Orang yang berhak menerima harta yang ditinggalkan oleh orang yang mati tersebut yang disebut ahli waris atau al-warist.
Syarat Pembagian Waris
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan, yaitu:[7]
a. Meninggal dunianya pewaris
Yang dimaksud dengan meninggal dunia adalah baik meninggal dunia hakiki(sejati), meninggal dunia hukmi (menurut putusan hakim) dan meninggal dunia taqdiri (menurut dugaan). Lebih lanjut mengenai pengertian mati hakiki, hukmi dan taqdiri adalah sebagai berikut: [8]
1.       Mati hakiki, yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui pembuktian, bahwa seseorang telah meninggal dunia.
2.      Mati hukmi, yaitu kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini bisa terjadi seperti dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang, tanpa diketahui di mana dan bagaimana keadannya. Setelah dilakukan upayaupaya tertentu, melalui keputusan hakim orang tersebut dinyatakan meninggal dunia.
3.      Mati taqdiri, yaitu anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Misalnya, seseorang yang diketahui ikut berperang ke medan perang. Setelah beberapa tahun, ternyata tidak diketahui kabar beritanya, dan patut diduga secara kuat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia, maka ia dapat dinyatakan telah meninggal.
b. Hidupnya ahli waris
Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal dunia. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan. Oleh karena itu, sesudah pewaris meninggal dunia, ahli warisnya harus benar-benar hidup. [9]
c. Mengetahui status kewarisan Agar seseorang dapat mewarisi harta orang meninggal dunia, haruslah jelas hubungan antara keduanya. Misalnya, hubungan suami-isteri, hubungan orangtua-anak dan hubungan saudara, baik sekandung, sebapak maupun seibu. [10]

4.      Penghalang-Penghalang Menerima Warisan [11]
1.      Pembunuhan
Dari abu hurairah R.A dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda:
“ orang yang membunuh tidak dapat memperoleh warisan.”

2.      Perbedaan Agama
Dari Usamah bin zaid R.A bahwa Nabi SAW  bersabda :
“orang islam tidak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak pula mewarisi harta orang islam.”

3.      Perbudakan
Hal ini karena seorng budak serta apa yang dimilikinya adalah kepunyaan tuan nya, maka jika kerabatnya mewarisinya niscahya warisan tersebut bagi tuan nya bukan yang lain.


C.    KESIMPULAN
waris berasal dari Bahasa Arab, yang artinya mewariskan, pusaka-pusaka dan warisan. Sedangkan menurut istilah para Ulama Fiqih, kata waris atau ilmu waris diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang ketentuan orang-orang yang diwarisi, orang-orang yang tidak mewarisi besar yang diterima oleh masing-masing ahli waris serta cara pembagiannya.
Istilah waris sudah sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia, sehingga kebanyakan masyarakat Indonesia mengartikan Ilmu Waris sebagai suatu perpindahan hak dan kewajiban serta harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup.



DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Amir syarifuddin, garis-garis besar Fiqih, kencana, jakarta,2003.
 Fatchur rahman, ilmu waris, PT Almarif, Bandung, 1971.
Abdul azim bin badawi al-khalafi, panduan fiqih lengkap, pustaka ibnu katsir, bogor, 2006.
Ahmad Rofiq, fiqh mawaris, PT Raja GrafindoPersada, Jakarta, 2002.
A.Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, PT.CitraAditya Bakti, Bandung, 1999.




[1]. Prof. Dr. Amir syarifuddin, garis-garis besar Fiqih, kencana, jakarta,2003, hal : 148. 
[2]. ibid
[3]. Drs. Fatchur rahman, ilmu waris, PT Almarif, Bandung, 1971, hal: 32.
[5]. Abdul azim bin badawi al-khalafi, panduan fiqih lengkap, pustaka ibnu katsir, bogor, 2006, hal : 149
[6]. Prof. Dr. Amir syarifuddin, garis-garis besar Fiqih, ..... Hal :152
[7]. Ibid.
[8].  Ahmad Rofiq, fiqh mawaris, PT Raja GrafindoPersada, Jakarta, 2002, hal :28
[9]. A.Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,
PT.CitraAditya Bakti, Bandung, 1999, hal.10.
[10]Ibid.
[11].  Abdul azim bin badawi al-khalafi, panduan fiqih lengkap, ..., hal:150

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar