A.
PENDAHULUAN
Setelah
pemikiran Renaissance sampai pada penyempurnaannya, yaitu telah tercapainya
kedewasaan pemikiran, maka terdapat keseragaman mengenai sumber pengertahuan
yang secara alamiah dapat di pakai manusia, yaitu akal (rasio) dan pengalaman
(empiri). Karena orang mempunyai kecenderungan untuk membentuk aliran
berdasarkan salah satu diantara keduanya, maka keduanya sama-sama membentuk
aliran tersendiri yang paling bertentangan.
Pada
bagian ini dibicarakan pemikiran pokok descates, spinoza, dan leibniz. Mereka adalah
tokoh besar dalam filsafat rasionalisme. Sebelum itu, pengertian rasionalisme
perlu diuraikan terlebih dahulu. Rasionalisme adalah paham filsafat yang
mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh
pengetahuan. Jika empirisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan alam
mengalami objek empiris, maka rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan
diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir itu ialah kaidah-kaidah
logis atau kaidah–kaidah logika.
Secara
umum, Rasionalisme (inggris Rasionalism, dari kata Latin = Ratio)
merupakan pendekatan filosofis yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber
utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas dan bebas (terlepas) dari
pengamatan indrawi. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi
syarat yang dituntut oleh sifat umum, juga oleh semua pengetahuan ilmiah.
B.
PEMBAHASAN
Rasionalisme
ada dua macam : ada bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama
rasionalisme adalah lawan autoritas, dalam bidang filsafat rasionalisme adalah
lawan emperisme. Rasionalisme dalam bidang agama biasanya digunakan untuk
mengkritik ajaran agama, rasionalisme dalam bidang filsafat terutama berguna sebagai
teori pengetahuan. Sebagai lawan empirisme, rasionalisme berpendapat bahwa
sebagian dan bagian penting pengetahuan datang dari penemuan akal. Contoh yang
paling jelas ialah pemahaman kita tentang logika dan matematika.[1]
Penemuan-penemuan
logika dan matematika begitu pasti. Kita tidak hanya melihatnya sebagai benar,
tetapi lebih dari itu kita melihatnya sebagai kebenaran yang tidak mungkin
salah, kebenarannya universal. Pada zaman modern filsafat, tokoh pertama
rasionalisme ialah Descartes, lalu menyusul Baruch spinoza dan Leibniz.[2]
Latar
belakang munculnya Rasionalisme adalah keinginan untuk membebaskan diri dari
segala pemikiran tradisional (skolatik), yang perna diterima, tetapi ternyata
tidak mampu menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi. Apa yang
ditanam Aristoteles dalam pemikiran saat itu juga masih dipengaruhi oleh
khayalan-khayalan.[3]
Adapun
tokoh-tokoh filsafat modern yaitu Rasionalisme adalah sebagai berikut:
a.
Rene Descartes
(1596-1650)
Descartes lahir pada tahun 1596 dan meninggal pada tahun 1650, bukunya yang
terpenting dalam filsafat murni ialah Discours de la methode (1637)
dan Meditations (1642) kedua buku ini saling melengkapi satu sama
lain. Didalam buku inilah ia menuangkan metodenya yang terkenal itu, metode
keraguan descartes (cartesian doubt) metode ini sering juga
disebut cogito descartes. Ia mengetahui bahwa tidak mudah meyakinkan
tokoh-tokoh gereja bahwa dasar filsafat haruslah rasio (akal). Untuk meyakinkan
orang bahwa dasar filsafat adalah akal, ia menyusun argumentasi yang amat terkenal.
Argumentasi itu tertuang didalam metode cogito. Untuk menemukan basis yang kuat
bagi filsafat, Descartes meragukan lebih
dahulu segala sesuatu yang dapat diragukan. Mula-mula ia meragukan semua yang
dapat diindera, objek yang sebenarnya tidak mungkin diragukan. Inilah langkah
pertama metode cogito tersebut.[4]
Pada langkah pertama ini descartes
dapat (berhasil) meragukan semua benda yang dapat di indera. Apa sekarang yang
dapat dipercaya dan yang sungguh-sungguh ada? Menurut descartes dalam mimpi,
halusinasi, ilusi dan dalam terjaga ada sesuatu yang
selalu muncul baik dalam jaga maupun dalam mimpi. Yang selalu
muncul itu ialah gerak, jumlah, dan besaran volume. Pada langkah kedua
ini Descrates mengajak kita berpendapat bahwa yang tiga inilah yang lebih ada
daripada benda-benda. Ketiga macam ini lebih meyakinkan adanya. Mungkin ketiga
inilah yang benar-benar ada. [5]
Tahapan metode Descartes itu dapat diringkaskan sebagai berikut :
1 2 3 4 5
Sekarang
Descartes telah menemukan dasar (basis) bagi filsafatnya. Basis itu bukan
filsafat plato, bukan filsafat abad pertengahan, bukan agama atau lainnya.
Fondasi itu ialah aku yang berpikir. Pemikiran ku itulah yang pantas
dijadikan dasar filsafat karena aku yang berfikir itulah yang
benar-benar ada, tidak diragukan, bukan kamu atau pikiran mu. Disini kelihatan
lah sifat subjektif, individualistis, humanis, dalam filsafat Descartes. Descartes
memulai filsafat dari metode. Metode keraguan itu bukanlah tujuannya. Tujuan
metode ini bukanlah untuk mempertahankan keraguan. Sebaliknya, metode ini
bergerak dari keraguan menuju kepastian. Keraguan Descartes hanya ditunjukan
untuk menjelaskan perbedaan sesuatu yang dapat diragukan dari sesuatu yang
tidak dapat diragukan.[6]
Dalam membangun
filsafatnya Descartes membuat pertanyaan-pertanyaan sebagai patokan dalam
menentukan kebenaran dan keluar dari keraguan yang ada. Adapun
persoalan-persoalan yang dilontarkan oleh Descartes untuk membangun filsafat
baru antara lain:
a. Apakah
kita bisa menggapai suatu pengetahuan yang benar?
b.
Metode apa yang digunakan mencapai pengetahuan pertama?
c.
Bagaimana meraih pengetahuan-pengetahuan selanjutnya?
d.
Apa tolok ukur kebenaran pengetahuan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Descartes menawarka
metode-metode untuk menjawabnya. Yang mana metode-metode tersebut harus
dipegang untuk sampai pada pengetahuan yang benar:
1.
Seorang filosuf harus
hanya menerima suatu pengetahuan yang terang dan jelas.
2.
Mengurai suatu masalah
menjadi bagian-bagian kecil sesuai dengan apa yang ingin kita cari. Atau jika
masalah itu masih berupa pernyataan: maka pernyataan tersebut harus diurai
menjadi pernyataan-pernyataan yang sederhana. Metode yang kedua ini disebut sebagai
pola analisis.
3.
Jika kita menemukan
suatu gagasan sederhana yang kita anggap Clear and Distinct, kita
harus merangkainya untuk menemukan kemungkinan luas dari gagasan
tersebut. Metode yang ketiga ini disebut dengan pola kerja sintesa atau
perangkaian.
4.
Pada metode yang
keempat dilakukan pemeriksaan kembali terhadap pengetahuan yang telah
diperoleh, agar dapat dibuktikan secara pasti bahwa pengetahuan tersebut adalah
pengetahuan yang Clear and Distinct yang benar-benar tak
memuat satu keraguan pun. Metode yang keempat ini disebut dengan verifikasi.
Jadi dengan keempat metode tersebut Descartes mengungkap kebenaran dan
membangun filsafatnya untuk keluar dari keraguan bersyarat yang diperoleh dari
pengalaman inderawinya.[7]
b.
Spinoza
(1632-1677)
Spinoza lahir diAmsterdam, tahun 1632 dari keluarga Yahudi yang
telah melarikan diri dari keluarga orang Yahudi yang dipaksakan menjadi
katolik. Belajar Teologi yahudi, bahasa klasik dan filsafat. Spinoza sangat
tertarik kepada filsafat Descrates terutama metode Descrates. Spinoza
dikeluarkan dari Sina goge di Amsterdam sebab pikirannya dianggap ortodoks. Nama
aslinya Baruch Spinoza. Setelah ia mengucilkan diri dari agama yahudi, ia
mengubah namanya menjadi Benedictus de Spinoza, dan ia meninggal pada tahun
1677 di Deen Haag.[8]
Filsafat Spinoza merupakan ramuan antara Rasionalisme dan mistik.
Dari beberapa tulisannya memperlihatkan pengaruh Descrates, walaupun demikian
tampak juga pengaruh Plotinus dan pemikir-pemikir Arab dan Yahudi. Terdapat dua
interprestasi dari pikiran Spinoza yang cukup berbeda. Yang pertama adalah
interpretasi Rasionalisme, memandang pikiran Spinoza sebagai contoh paling
murni dan panteisme. Spinoza dianggap sebagai pemikir pertama sesudah zaman
klasik. Interpretasi rasionalistis memandang Spinoza sebagai bapak Liberalisme
religius modern. Interpretasi kedua, Spinoza dipandang sebagai Pantheisme, ia
digambarkan sebagai orang yang sangat religius, padahal teologinya sangat jauh
dari ortodoksi.
Dalam tulisannya Tractatus Theologico-Politicus tentang kebebasan
untuk berpikir merupakan pemikiran Spinoza yang sangat penting dalam sejarah
filsafat barat. Dalam tulisannya itu, disajikan “tafsir bebas” dari kitab suci
(untuk memperlihatkan bahwa kitab suci tidak dapat dipakai untuk pembenaran politik
konservatif) kecuali sebuah traktat tentang tafsir, tulisan tersebut juga
merupakan traktat tentang kebebasan politik. Seperti halnya Descrates, Spinoza
juga hendak mencari sesuatu yang pasti, yang menurutnya kepastian itu merupakan
jaminan bagi ilmu pengetahuan. Beda dengan Descrates, kepastian pada Spinoza
tidaklah diarahkan pada cogito, tetapi kepada kemutlakan. Paham Spinoza mngenai
substansi juga diperoleh melalui Descrates dari Aristotelian, melalui
penolakannya terhadap dualisme Descrates yang mengatakan bahwa jiwa dan badan
bukan dua hal yang terpisah, tetapi ada satu dan dua hal yang sama. Jiwa dan
badan adalah suatu atribut subtansi yang tunggal. Menurut Spinoza dalam bidang
tindakan, seluruh kekuasaan hanya untuk pemerintah tetapi didalam bidang
berpikir dan berbicara semua anggota msyarakat mempunyai kebebasan penuh. Setiap orang bebas memberi pendapatnya baik
tentang politik maupun tentang agama. Walaupun demikian, orang tidak boleh
bertindak melawan politik pemerintah, hal ini dilarang supaya ketenangan
(syarat mutlak untuk kebebasan semua anggota masyarakat)tidak terganggu. Traktatus
ini banyak mengalami krtik pada abad ke 17. Pemikiran spinoza tentang
Tafsir dan politik dianggap terlalu Liberal. Abad ke 18 Traktatus diterima dengan positif. Spinoza dianggap
sebagai pemikir yang paling modern. Sekitar 1800 pemikirannya diakui secara
umum terutama pemikir-pemikir seperti Schelling. Lessing, Goethe dan Hegel.
Dalam dunia barat, filsafat Spinoza sekarang dianggap sebagai panteisme
mistik-rasional. Dinegara-negara dengan ideologi materalistik-idealistik,
Spinoza dianggap sebagai pemikir matelistis-ateistis.
c.
Gottfried
Wilhelm Leibniz (1646-1716)
Leibniz lahir di Leipzing (Jerman) tahun 1646 belajar hukum dan
filsafat pada ayahnya. Dia dianggap sebagai orang yang genius, hal ini dapat
terlihat bahwa ia seseorang yang menguasai hampir semua ilmu dan berbagai
tulisannya tentang filsafat, hukum, teologi dan sejarah. Leibniz, sebagai
seorang filsuf, ilmuan, sejarawan, dan diplomat yang hidup ditengah suasana
hiruk-pikuk perang besar yang dikenal sebagai “perang tiga puluh tahun”,
masyarakat tidak menentu, giat berusahamenyatukan berbagai konflik, terutama
paham keagamaan yang berbeda, seperti mempertemukan kaum Protestan dengan
Katolik Rroma. Ia ingin mewujudkan agama universal atas prinsip kristiani.
Tiadak hanya itu, juga berusaha mempertemukan antara ilmu, teologi dan filsafat
dan menyelesaikan pertikaain antar realisme dengan nominlisme, sehingga ada
yang menyebut filsafatnya berbentuk sinkretisme.[9]
Seperti halnya Descartes dan Spinoza, Leibniz juga mendasarkan
filsafatnya pada konsep subtansi, sekalipun secara radikal berbeda denagn
mereka, terutama yang berkaitan dengan hubungan antara materi dan jiwa serta
jumlah subtansi. Panadangan Leibniz tentang subtansi tertuang dalam buah
karyanya Monadologi. Secara umum, rasionalisme adalah suatu pendekatan
filosofis yang menekankan peranan akal budi (rasio) sebagai sumber utama
pengetahuan, bebas dari pengamatan indrawi. Menurut mereka proses pemikiran
abstrak kita dapat mencapai kebenaran fundamental, yang tidak dapat disangkal
tentang apa yang ada dan mengenai alam semesta pada umumnya. Sebagian realitas dapat
diketahui tanpa tergantung pada pengamatan, pengalaman, dan pemakain metode
empiris. Pikiran mampu mengetahui beberapa kebenaran mengenai realitas yang
mendahului pengalaman apapun juga. [10]
Lebih jauh posisi akal budi pada rasionalisme adalah sumber utama
pengetahuan yang diperoleh malalui sistem deduktif, yang dapat dipahami secara
rasional yang hanya secara tidak langsung berhubungan dengan pengalaman indrawi
ini, sehungga pengalaman tidak perlu diuji lewat verifikasi-indrawi, tetapi
memakai kriteria logis, seperti konsitensi logis. Kepastian mutlak merupakan
ciri pokok baik dari realitas maupun semua pengetahuan yang benar. Hanya
kebenaran yang pasti dan benar pada dirinya sendiri yang timbul dari akal budi
saja yang dianggap sebagai benar, nyata dan pasti, sedangkan semua yang lain
tunduk kepada kekeliruan, kesesatan, ilusi dan ketidakpastian, inilah doktrin
rasionalisme.[11]
C.
KESIMPULAN
·
Secara
umum, Rasionalisme (inggris Rasionalism, dari kata Latin = Ratio)
merupakan pendekatan filosofis yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber
utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas dan bebas (terlepas) dari
pengamatan indrawi. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi
syarat yang dituntut oleh sifat umum, juga oleh semua pengetahuan ilmiah.
·
Rasionalisme
ada dua macam : ada bidang agama dan dalam bidang filsafat. Rasionalisme dalam
bidang agama biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama, rasionalisme
dalam bidang filsafat terutama berguna sebagai teori pengetahuan.
·
Latar
belakang munculnya Rasionalisme adalah keinginan untuk membebaskan diri dari
segala pemikiran tradisional (skolatik), yang perna diterima, tetapi ternyata
tidak mampu menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi. Apa yang
ditanam Aristoteles dalam pemikiran saat itu juga masih dipengaruhi oleh
khayalan-khayalan.
·
Adapun
tokoh-tokoh filsafat modern yaitu Rasionalisme adalah sebagai berikut: Rene Descartes, Spinoza, dan
Gottfried Wilhelm Leibniz.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, filsafat umum, PT Remaja
Rosdakarya, Bandung, 2005.
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009.
Syamsul Rijal, Filsafat Umum, Ushuluddin
Publishing, Banda Aceh, 2010.
[1].
Ahmad Tafsir, filsafat umum, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, hal :
127.
[2].
Ibid, hal :128.
[3].
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009,
hal: 116.
[4]
. Ahmad Tafsir, filsafat umum..... hal: 129.
[5].
Ibid, hal: 131.
[6].
Ibid, hal: 132.
[8].
Syamsul Rijal, Filsafat Umum, Ushuluddin Publishing, Banda Aceh, 2010,
hal: 144
[9].
Syamsul Rijal, Filsafat Umum,,.... hal: 146
[10].
Syamsul Rijal, Filsafat Umum,..... hal: 147.
[11].
Syamsul Rijal, Filsafat Umum,..... hal: 147.