kumpulan hadist

BAB I
KEIMANAN
A. Hubungan Iman, Islam, Ikhsan.
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ . [رواه مسلم]

Arti hadits / ترجمة الحديث :
Dari Umar radhiallahuanhu juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah SAW suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah) seraya berkata: “ Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “ anda benar“. Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “. Dia berkata: “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda: “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya “, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “ Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian “. (Riwayat Muslim).

1. Penjelasan Tentang Iman, Islam, Ikhsan sesuai dengan Hadits di atas.
a. Iman
Dalam hadits diatas diterangkan bahwa iman ialah percaya kepada Allah SWT, malaikat, berhadapan dengan Allah, percaya kepada Rasul-Nya, dan Percaya kepada hari kebangkitan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 285:
z`tB#uä ãAqߧ9$# !$yJÎ/ tAÌRé& Ïmøs9Î) `ÏB ¾ÏmÎn/§ tbqãZÏB÷sßJø9$#ur 4 <@ä. z`tB#uä «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur Ÿw ä-ÌhxÿçR šú÷üt/ 7ymr& `ÏiB ¾Ï&Î#ß 4 (#qä9$s%ur $uZ÷èÏJy $oY÷èsÛr&ur ( y7tR#tøÿäî $oY­/u šøs9Î)ur 玍ÅÁyJø9$# ÇËÑÎÈ  

Artinya:
Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan Kami taat.” (mereka berdoa): “Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”
b. Islam
Islam adalah agama yang dibawa oleh para utusan Allah dan disempurnakan oleh Rasulullah SAW. Yang memiliki sumber pokok Al’Quran dan As’Sunah Rasulullah SAW. Sebagai petunjuk umat manusia sepanjang masa.
Dalam hadits diatas islam ialah:
1. Menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun.
2. Mendirikan solat.
3. Membayar zakat yang difardukan.
4. Berpuasa dibulan ramadhan
5. Haji bila mampu.
c. Ikhsan.
Ikhsan secara bahasa yaitu berbuat kebaikan (Akhlak) sebagaimana dinyatakan dalam Ayat An-nahal ayat 90 yang artinya ‘’Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) dalam berbuat adil dan berbuat kebajikan’’.
BAB II
Realisasi Iman Dalam Kehidupan Keluarga
A. Cinta Sesama Muslim Sebagian Dari Iman.
عَنْ أَبِي حَمْزَةَ أَنَسْ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، خَادِمُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه [رواه البخاري ومسلم]
Terjemah hadits :
Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radiallahuanhu, pembantu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, beliau bersabda: Tidak beriman salah seorang diantara kamu hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. (Riwayat Bukhori dan Muslim).
a) Penjelasan Singkat.
Seorang mukmin yang ingin mendapatkan ridho Allah SWT. Harus berusaha melakukan perbuatan-perbuatan yang diridhoi-Nya. Salah satunya yaitu mencintai sesama saudaranya seiman seperti ia mencintai dirinya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits diatas.
b) Fiqh Al-Hadits
Salah satu kesempurnaan iman seorang muslim adalah mencintai saudaranya sebagaimana ia mencinai dirinya sendiri. Hal ini direalisasikaan dalam kehidupan sehari-hari dengan berusaha untuk menolong dan berusaha merasakan kesusahan ataupun kebahagiaan saudaranya seiman yang didasarkan keimanan yang teguh kepada Allah SWT.
B. Ciri Seorang Muslim tidak mengganggu Orang Lain.
Dinamakan seorang muslim apabila mempunyai iman yang dibalut dengan rasa kasih sayang dan cinta akan sesamanya, dan selalu menjaga dari apa hal-hal yang menyebapkan terjadinya perpecahan. Dalam sebuah hadis mengatakan yang artinya:
‘’Abdullah bin umar berkata bahwa Nabi SAW telah bersabda: Seorang muslim adalah orang yang menyebapkan orang lain islam (yang lain) selamat dari lisannya dan tangannya dan orang yang hijrah adalah orang yang hijrah dari apa yang dilarang Allah SWT (HR.bukhari, Abu daud, dan Nasa’i..’’
Hadits diatas mengandung tiga pokok bahasan diantaranya:
1. Tentang hakikat seorang muslim.
2. Membina hubungan sesama muslim dalam kehidupan sehari-hari
3. Menjelaskan hakikat hijrah dalam pandangan islam.
C. Reaisasi Iman dalam Menghadapi Tamu
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ [رواه البخاري ومسلم]
Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
Dari Abu Hurairah, ra sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Pelajaran yang diambil dari hadits diatas yaitu :
1. Iman terkait langsung dengan kehidupan sehari-hari.
2. Islam menyerukan kepada sesuatu yang dapat menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang dikalangan individu masyarakat muslim.
3. Termasuk kesempurnaan iman adalah perkataan yang baik dan diam dari selainnya .
4. Berlebih-lebihan dalam pembicaraan dapat menyebabkan kehancuran, sedangkan menjaga pembicaraan merupakan jalan keselamatan.
5. Islam sangat menjaga agar seorang muslim berbicara apa yang bermanfaat dan mencegah perkataan yang diharamkan dalam setiap kondisi.
6. Tidak memperbanyak pembicaraan yang diperbolehkan, karena hal tersebut dapat menyeret kepada perbuatan yang diharamkan atau yang makruh.
7. Termasuk kesempurnaan iman adalah menghormati tetangganya dan memperhatikanya serta tidak menyakitinya.
8. Wajib berbicara saat dibutuhkan, khususnya jika bertujuan menerangkan yang haq dan beramar ma’ruf nahi munkar.
9. Memuliakan tamu termasuk diantara kemuliaan akhlak dan pertanda komitmennya terhadap syariat Islam.
10. Anjuran untuk mempergauli orang lain dengan baik.
BAB III
IKHLAS BERAMAL
A. Niat atau Motivasi Beramal.
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
[رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة
]
Arti Hadits / ترجمة الحديث :
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.
(Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang) .
1. Penjelasan Hadits
Hadits ini merupakan salah satu dari hadits-hadits yang menjadi inti ajaran Islam. Imam Ahmad dan Imam syafi’i berkata : Dalam hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu. Sebabnya adalah bahwa perbuatan hamba terdiri dari perbuatan hati, lisan dan anggota badan, sedangkan niat merupakan salah satu dari ketiganya. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa dia berkata : Hadits ini mencakup tujuh puluh bab dalam fiqh. Sejumlah ulama bahkan ada yang berkata : Hadits ini merupakan sepertiga Islam.
Hadits ini ada sebabnya, yaitu: ada seseorang yang hijrah dari Mekkah ke Madinah dengan tujuan untuk dapat menikahi seorang wanita yang konon bernama : “Ummu Qais” bukan untuk mendapatkan keutamaan hijrah. Maka orang itu kemudian dikenal dengan sebutan “Muhajir Ummi Qais” (Orang yang hijrah karena Ummu Qais).
2. Pelajaran Yang Diambil Dari Hadits
1. Niat merupakan syarat layak/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat (karena Allah ta’ala).
2. Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati.
3. Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah ta’ala dituntut pada semua amal shalih dan ibadah.
4. Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya.
5. Semua perbuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari keridhoan Allah maka dia akan bernilai ibadah.
6. Yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.
7. Hadits di atas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman karena dia merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.
B. Menjauhi Perbuatan Riya/ Syirik kecil.
Riya’ dijelaskan dalam hadits Yang artinya:
‘’Sesungguhnya riya adalah syirik yang kecil. (HR. Ahmad dan Al Hakim).’’
Riya artinya usaha untuk melaksanakan ibadah bukan dengan niat menjalankan kewajiban dan menunaikan perintah Allah SWT, melainkan bertujuan untuk dilihat orang, baik untuk kemashuran , mendapaat pujianatau harapan-harapan untuk selain Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
ÈËÍÊÇ %s=ΊxW )Îwž #$!© ƒtõ.äãrcš ruwŸ #$9Z$} ƒãt#!äârbt .ä¡|$<n4 %s$Bãq#( #$9Á¢=nq4oÍ )Î<n %s$Bãqþ#( ru)ÎŒs# zy»ÏããgßNö rudèqu #$!© äƒs»Ïããqbt #$9øJßZu»ÿÏ)Éüût )Îb
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.
Syakqiq bin ibrahim, yang diikuti oleh Abu laits Samarqandi berpendapat bahwa ada tiga perkara yang menjadi benteng amal yaitu:
1. Hendaknya mengetahui bahwa amal ibadahnya adalah pertolongan Allah SWT, agar penyakit ujub dalam hatinya hilang.
2. Semata-mata hanya mencari ridha Allah SWT. Agar hawa nafsunya teratur.
3. Senantiasa hanya mengharap ridha Allah SWT agar tidak menimbulkan tamak dan riya’.
BAB IV
Ajakan Kepada Kebaikan
Ajaran Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ [رواه مسلم]
Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. (Riwayat Muslim).
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :
1. Menentang pelaku kebatilan dan menolak kemunkaran adalah kewajiban yang dituntut dalam ajaran Islam atas setiap muslim sesuai kemampuan dan kekuatannya.
2. Ridho terhadap kemaksiatan termasuk diantara dosa-dosa besar.
3. Sabar menanggung kesulitan dan amar ma’ruf nahi munkar.
4. Amal merupakan buah dari iman, maka menyingkirkan kemunkaran juga merupakan buahnya keimanan.
5. Mengingkari dengan hati diwajibkan kepada setiap muslim, sedangkan pengingkaran dengan tangan dan lisan berdasarkan kemampuannya.
Umat islam diperintahkan untuk mengajak saudara-saudaranya sesama manusia khususnya umat islam untuk berbuat kebaikan yang diperintahkan Allah dan menjauhi kesesatan yang dilarang-Nya.
A. Keutamaan Mengajak Kepada Kebaikan.
Dijelaskan dalam hadits yang artinya :
“Dari Abi Hurairah r.a berkata Rasulullah SAW bersabda. “Barang siapa yang mengajak kepada kebaikan, maka baginya pahala seperti orang-orang yang mengikutinya tanpa dikurangi mereka sedikitpun dan siapa yang mengajak kepada kesesatan, maka baginya dosa sebagaimana dosa orang yang mengikutinya tanpa dikurangi dari mereka sedikitpun.”(H.R. Muslim, Malik, Abu Dawud, dan tirmidzi)
Hadits diatas menjelaskan bahwa orang yang mengajak kepada kebaikan akan diberi pahala sebesar pahala orang-orang yang mengikuti ajakannya tanpa dikurangi dari mereka sedikit pun. Dan sebaliknya, orang yang mengajak kepada kesesatan akan mendapat dosa sebesar dosa orang yang mengikuti ajakannya tanpa dikurangi dari mereka sedikitpun.
BAB V
Kepeduluan Sosial
A. Memperhatikan Kesulitan Orang lain.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كاَنَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ. وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْماً سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقاً إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَأ فِي عَمَلِهِ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
(رواه مسلم)
Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mu’min dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim Allah akan tutupkan aibnya di dunia dan akhirat. Allah selalu menolong hambanya selama hambanya menolong saudaranya. Siapa yang menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu, akan Allah mudahkan baginya jalan ke syurga. Sebuah kaum yang berkumpul di salah satu rumah Allah membaca kitab-kitab Allah dan mempelajarinya di antara mereka, niscaya akan diturunkan kepada mereka ketenangan dan dilimpahkan kepada mereka rahmat, dan mereka dikelilingi malaikat serta Allah sebut-sebut mereka kepada makhluk disisi-Nya. Dan siapa yang lambat amalnya, hal itu tidak akan dipercepat oleh nasabnya.
(Riwayat Muslim)
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :
1. Siapa yang membantu seorang muslim dalam menyelesaikan kesulitannya, maka akan dia dapatkan pada hari kiamat sebagai tabungannya yang akan memudahkan kesulitannya di hari yang sangat sulit tersebut.
2. Sesungguhnya pembalasan disisi Allah ta’ala sesuai dengan jenis perbuatannya.
3. Berbuat baik kepada makhluk merupakan cara untuk mendapatkan kecintaan Allah Ta’ala.
4. Membenarkan niat dalam rangka mencari ilmu dan ikhlas di dalamnya agar tidak menggugurkan pahala sehingga amalnya dan kesungguhannya sia-sia.
5. Memohon pertolongan kepada Allah ta’ala dan kemudahan dari-Nya, karena ketaatan tidak akan terlaksana kecuali karena kemudahan dan kasih sayang-Nya.
6. Selalu membaca Al Quran, memahaminya dan mengamalkannya.
7. Keutamaan duduk di rumah Allah untuk



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

harta warisan

A.    PENDAHULUAN

Membicarakan faraidh atau kewarisan berarti membicarakan hal ihwal peralihan harta dari orang yang telah mati kepada orang yang masih hidup. Dengan demikian fiqh mawarits mengandung arti ketentuan yang berdasar kepada wahyu Allah yang mangatur hal ihwal peralihan harta dari seseorang yang telah mati kepada orang yang masih hidup.
Ketentuan agama berkenaan dengan hal tersebut disebut dengan beberapa nama, baik dalam literatur yang berbahasa Arab maupun dalam bahasa indonesia ; mawarist, tirkah, warists, faraidh dalam bahasa Arab. Perbedaan dalam penamaan tersebut tergantung pada apa yang di jadikan titik pandang dalam pembahasan. Bila yang di pandang adalah orang orang yang berhak menerima harta dari mayyit itu, ia di sebut hukum waris dalam bahasa indonesia atau Fiqh Al-Warits dalam bahasa arab. Bila yang dijadikan titik pandang adalah harta yang akan beralih kepada ahli waris , maka ia disebut hukum warisan atau hukum harta pusaka ; atau mirats (jamaknya mawarits) atau tirkah. Bila yang jadikan titik pandang adalah bagian bagian yamg diterim ahli waris, ia disebut faraidh.













B.     PEMBAHASAN

1.      Definisi Warisan
Hukum kewarisan yang disebut faraidh itu dalam pandangan islam juga disebut sebagai ilmu yang mesti dipelajari dan diajarkan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi dalam hadist dari Abu Hurairah menurut riwayat ibnu Majah dan Dar al-Quthniy :
pelajarilah faraidh dan ajarkanlah dia, karena dia merupakan separuh dari ilmu.” [1]
Menyelesaikan harta orang yang sudah mati sesuai dengan ketentuan yang di tetapkan Allah itu hukumnya adalah wajib. Kewajiban ini dapat di pahami di satu sisi dalam pujian Allah terhadap orang orang yang melaksanakan penyelesaian harta warisan sesuai dengan ketentuan Allah; dan di sisi lain dari celaan Allah tersebut. Pujian dan ancaman Allah tersebut terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 13 dan  14 :[2]
(hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan Allah. Barang siapa taat kepada Allah Dan Rasul-Nya niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedangkan mereka kekal didalamnya itulah kemenangan yang besar. Barang siapa yang mendurhakai Allah Dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuannya, niscaya allah akan memasukkannya ke dalam neraka yang mereka kekal di dalamnya dan baginya siksaan yang menghinakan.
Faraidh dalam istilah mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara’. Sedangkan ilmu faraidh oleh sebagian faradhiyun dita’rifkan dengan : “ ilmu fiqh yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka. [3]

Prinsip-prinsip Hukum Kewarisan Islam
Setelah mempelajari definisi Hukum Kewarisan Islam, untuk lebih mendalaminya, perlu mempelajari prinsip-prinsipnya. Beberapa prinsip dalam Hukum Kewarisan Islam adalah sebagai berikut :[4]
1.      Prinsip Ijbari
Yang dimaksud dengan Prinsip Ijbari adalah bahwa peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup, berlaku dengan sendirinya.
Dalam Hukum Kewarisan Islam, dijalankannya Prinsip Ijbari ini berarti, peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya, berlaku dengan sendirinya sesuai dengan kehendak Allah, tanpa bergantung kepada kehendak pewaris atau ahli waris.
2.      Prinsip Individual
Secara singkat dapat dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan Prinsi Individual adalah warisan dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Ini berati setiap ahli waris berhak atas bagian warisan yang didapatkan tanpa terikat oleh ahli waris yang lain. Ada perbedaan yang sangat mencolok, jika Prinsip Individual dalam Hukum Kewarisan Islam dibandingkan dengan salah satu prinsip dalam Hukum Kewarisan Adat, yakni Prinsip Kolektif. Menurut prinsip ini, ada harta
peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagikan kepada para ahli waris. Di beberapa daerah di Indonesia terdapat suatu adat, harta peninggalan yang turun-temurun diperoleh dari nenek-moyang, tidak dapat dibagi-bagi, jadi ahli waris harus menerimanya secara utuh. Misalnya adalah Harta Pusaka di Minangkabau da Tanah Dati di Hitu Ambon. Tiap-tiap anak, turut menjadi anggota (deelgenot) dalam kompleks famili yang mempunyai barang-barang keluarga (harta pusaka) itu. Apabila kompleks famili itu menjadi terlalu besar, maka kompleks famili itu dipecah menjadi dua, masing-masing berdiri sendiri dan menguasai Harta Pusaka.
3.      Prinsip Bilateral
Yang dimaksud dengan Prinsip Bilateral adalah bahwa baik laki-laki maupun perempuan dapat mewaris dari kedua belah pihak garis kekerabatan, yakni pihak kekerabatan laki-laki dan pihak kekerabatan perempuan. Tegasnya, jenis kelamin bukan merupakan penghalang untuk mewaris atau diwarisi dan baik dalam garis lurus ke bawah, ke atas serta garis ke samping, Prinsip Bilateral tetap berlaku.
4.      Prinsip Kewarisan hanya berlaku karena kematian
Hukum Kewarisan Islam menetapkan, bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan sebutan kewarisan berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia. Dengan demikian, tidak ada pembagian warisan sepanjang pewaris masih hidup. Segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung, tidak termasuk ke dalam persoalan kewarisan menurut Hukum Kewarisan Islam.
Hukum Kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan, yaitu kewarisan akibat kematian yang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebut kewarisan ab intestato dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat pada saat pewaris masih hidup.

2.      Pembagian-pembagian ahli waris
Para ahli waris dari Pihak Laki-laki
Yang berhak menjadi ahli waris dari kalangan lelaki ada sepuluh orang:

1 dan 2. Anak laki-laki dan puteranya dan seterusnya ke bawah
Allah swt berfirman:
Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan." (QS An Nisaa’: 11).

3 dan 4. Ayah dan bapaknya dan seterusnya ke atas.
Allah swt berfirman:
"Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan." (QS An Nisaa’: 11).
Dan datuk termasuk ayah, oleh karena itu Nabi saw bersabda:
"Saya adalah anak Abdul Muthallib."

5 dan 6. Saudara dan puteranya dan seterusnya ke bawah.
Allah swt berfirman:
"Dan saudara yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak." (QS An Nisaa’: 176).

7 dan 8.Paman dan anaknya serta seterusnya.
Nabi saw bersabda:
"Serahkanlah bagian-bagian itu kepada yang lebih berhak, kemudian sisanya untuk laki-laki yang lebih utama (dekat kepada mayyit)."

9. Suami.
Allah swt berfirman:
"Dan bagimu (suami-isteri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu." (QS An Nisaa’: 12).



10. Laki-laki yang memerdekakan budak.
 Sabda Nabi saw:       
"Hak ketuanan itu milik orang yang telah memerdekakannya."

Perempuan-perempuan yang Mendapat Warisan
Perempuan-perempuan yang berhak menjadi ahli waris ada tujuh:

1 dan 2. Anak perempuan dan puteri dari anak laki-laki dan seterusnya.
Firman-Nya:
"Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu." (QS An Nisaa’: 11).

3 dan 4. Ibu dan nenek.
Firman-Nya:
"Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masing seperenam." (QS An Nisaa’: 11).

5. Saudara perempuan.
Allah swt berfirman:
"Jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkan itu." (QS An Nisaa’: 176).

6. Istri.
Allah swt berfirman:
"Para isteri memperoleh seperempat dari harta yang kamu tinggalkan." (QS An Nisaa’: 12).

7. Perempuan yang memerdekakan budak.
Sabda Nabi saw:
"Hak ketuanan itu menjadi hak milik orang yang memerdekakannya."


Golongan Ahli Waris
Ahli waris terbagi dua golongan, yaitu :
1.      Dzu fardlin
Dzu fardlin artinya yang mempunyai pembagian tertentu. Pembagian tertentu menurut alquran :
a.       1/2 (setengah)
b.      1/4 (seperempat)
c.       1/8 (seperdelapan)
d.      1/3 (sepertiga)
e.       2/3 (dua pertiga)
f.       1/6 (seperenam)
·         Orang-orang yang berhak mendapat ahli waris
Bagian-bagian yang telah ditetapkan dalam Kitabullah Ta’ala ada enam: (pertama) separuh, (kedua) seperempat, (ketiga) seperdelapan, (keempat) dua pertiga, (kelima) sepertiga, dan (keenam) seperenam.

Ø  . Yang dapat 1/2:
1. Suami yang dapat seperdua (dari harta peninggalan isteri), bila si mayyit tidak meninggalkan anak. Allah swt berfirman: "Dan kamu dapat separuh dari apa yang ditinggalkan isteri-isteri kamu, jika mereka tidak meninggalkan anak." (QS An Nisaa’: 12).

2. Seorang anak perempuan.
Firman-Nya: "Dan jika (anak perempuan itu hanya) seorang, maka ia dapat separuh."
 (QS An Nisaa’: 11).

3.Cucu perempuan
karena ia menempati kedudukan anak perempuan menurut ijma’ (kesepakatan) ulama’. Ibnu Mundzir berkata, "Para ulama’ sepakat bahwa cucu laki-laki dan cucu perempuan menempati kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan. Cucu laki-laki sama dengan anak laki-laki, dan cucu perempuan sama dengan anak perempuan, jika si mayyit tidak meninggalkan anak kandung laki-laki." (Al Ijma’ hal. 79)

4 dan 5 Saudara perempuan seibu dan sebapak dan saudara perempuan sebapak.
Firman-Nya: "Jika seorang meninggal dunia, padahal ia tidak mempunyai anak, tanpa mempunyai saudara perempuan, maka saudara perempuan dapat separuh dari harta yang ia tinggalkan itu." (QS An Nisaa’: 176)

Ø  Yang dapat 1/4 ; dua orang:

1.      Suami dapat seperempat
jika isteri yang wafat meninggalkan anak. Firman-Nya: "Tetapi jika mereka meninggalkan anak, maka kamu dapat seperempat dari harta yang mereka tinggalkan." (QS An Nisaa’: 12).

2.      Isteri
jika suami tidak meninggalkan anak. Firman-Nya: "Dan isteri-isteri kamu mendapatkan seperempat dari apa yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak meninggalkan anak." (QS An Nisaa’: 12).

Ø  Yang dapat 1/8; hanya satu (yaitu):
Istri
dapat seperdelapan, jika suami meninggalkan anak. Firman-Nya: "Tetapi jika kamu tinggalkan anak, maka isteri-isteri kamu dapat seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan." (QS An Nisaa’: 12).

Ø  Yang dapat 2/3; empat orang
1 dan 2. Dua anak perempuan dan cucu perempuan (dari anak laki-laki).
Firman-Nya: "Tetapi jika anak-anak (yang jadi ahli waris) itu perempuan (dua orang) atau lebih dari dua orang, maka mereka daat dua pertiga dari harta yang ditinggalkan (oleh bapaknya)." (QS An Nisaa’: 11).
3 dan 4. Dua saudara perempuan seibu sebapak dan dua saudara perempuan sebapak.
Firman-Nya: "Tetapi jika adalah (saudara perempuan) itu dua orang, maka mereka dapat dua pertiga dari harta yang ia tinggalkan." (QS An Nisaa’: 176).



Ø  Yang dapat 1/3; dua orang:

1.      Ibu, jika ia tidak mahjub
Firman-Nya: "Tetapi jika si mayyit tidak mempunyai anak, dan yang jadi ahli warisnya (hanya) ibu dan bapak, maka bagi ibunya sepertiga." (QS An Nisaa’: 11).

2.      Saudara seibu (saudara tiri) dan seterusnya
Firman-Nya: "Dan jika si mayyit laki-laki atau perempuan tak meninggalkan anak dan tidak (pula) bapak, tetapi ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu), maka tiap-tiap orang dari mereka berdua itu, dapat seperenam, tetapi jika saudara-saudara itu lebih dari itu maka mereka bersekutu dalam sepertiga itu." (QS An Nisaa’: 12).

Ø  Yang dapat 1/6; ada tujuh orang:

1.      Ibu dapat seperenam, jika si mayyit meninggalkan anak atau saudara lebih dari seorang.
Firman-Nya: "Dan untuk dua orang ibu bapak, bagian masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya dapat sepertiga; jika yang wafat itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya dapat seperenam." (QS An Nisaa’: 11).

2.      Nenek, bila si mayyit tidak meningalkan ibu. Ibnul Mundzir menegaskan, "Para ulama’ sepakat bahwa nenek dapat seperenam, bila si mayyit tidak meninggalkan ibu." (Al Ijma’ hal. 84).


3.      Seorang saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan. Firman-Nya: "Dan jika si mayyit laki-laki atau perempuan itu tidak meninggalkan anak dan tidak (pula) bapak, tetapi ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu), maka tiap-tiap orang dari mereka berdua itu dapat seperenam." (QS An Nisaa’: 12).



4.      Cucu perempuan
jika si mayyit meninggalkan seorang anak perempuan:
yaitu anak perempuan dapat separuh, cucu perempuan dari anak laki-laki dapat seperenam sebagai pelengkap dua pertiga (2/3)

5.      Saudara perempuan sebapak
 jika si mayat meninggalkan seorang saudara perempuan seibu sebapak sebagai pelengkap dua pertiga (2/3), karena dikiaskan kepada cucu perempuan, bila si mayyit meninggalkan anak perempuan.

6.      Bapak dapat seperenam
 jika si mayyit meninggalkan anak.  Firman-Nya: "Dan bagi dua ibu bapaknya; buat tiap-tiap seorang dari mereka seperenam dari harta yang ditinggalkan (oleh anaknya), jika (anak itu) mempunyai anak." (QS An Nisaa’: 11).

7.       Kakek dapat seperenam
bila si mayyit tidak meninggalkan bapak. Dalam hal ini Ibnul Mundzir menyatakan, "Para ulama’ sepakat bahwa kedudukan datuk sama dengan kedudukan ayah." (Al Ijma’ hal. 84).
          
Pengertian 'Ashabah
Menurut bahasa, kata ’ashabah adalah bentuk jama’ dari kata ’aashib, seperti kata thalabah adalah bentuk jama’ dari kata thaalib, (kata ’ashabah) yang berarti anak-anak laki-laki seorang dan kerabatnya dari ayahnya Segenap orang yang termasuk ’ashabah berhak juga mendapatkan harta warisan seluruhnya, bila tidak didapati seorangpun dari ashabul furudh
3.      Sebab-sebab menerima warisan
Sebab-sebab menerima warisan ada tiga :[5]
a.       Nasab (keturunan)
b.      Wala’ (memerdekakan budak)
c.       Pernikahan

4.      Rukun dan syarat kewarisan
Seseorang baru berhak menerima warisan bila telah terpenuhi rukun dan syarat kewarisan. Adapun rukun kewarisan itu adalah :[6]
a.       Orang yang tela mati dan meninggalkan harta yang akan beralih kepada orang yang masih hidup disebut pewaris atau al-muwarrist.
b.      Harta yang beralih dari orang yang mati kepada yang masih hidup yang disebut harta warisan atau mawruts.
c.       Orang yang berhak menerima harta yang ditinggalkan oleh orang yang mati tersebut yang disebut ahli waris atau al-warist.
Syarat Pembagian Waris
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan, yaitu:[7]
a. Meninggal dunianya pewaris
Yang dimaksud dengan meninggal dunia adalah baik meninggal dunia hakiki(sejati), meninggal dunia hukmi (menurut putusan hakim) dan meninggal dunia taqdiri (menurut dugaan). Lebih lanjut mengenai pengertian mati hakiki, hukmi dan taqdiri adalah sebagai berikut: [8]
1.       Mati hakiki, yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui pembuktian, bahwa seseorang telah meninggal dunia.
2.      Mati hukmi, yaitu kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini bisa terjadi seperti dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang, tanpa diketahui di mana dan bagaimana keadannya. Setelah dilakukan upayaupaya tertentu, melalui keputusan hakim orang tersebut dinyatakan meninggal dunia.
3.      Mati taqdiri, yaitu anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Misalnya, seseorang yang diketahui ikut berperang ke medan perang. Setelah beberapa tahun, ternyata tidak diketahui kabar beritanya, dan patut diduga secara kuat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia, maka ia dapat dinyatakan telah meninggal.
b. Hidupnya ahli waris
Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal dunia. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan. Oleh karena itu, sesudah pewaris meninggal dunia, ahli warisnya harus benar-benar hidup. [9]
c. Mengetahui status kewarisan Agar seseorang dapat mewarisi harta orang meninggal dunia, haruslah jelas hubungan antara keduanya. Misalnya, hubungan suami-isteri, hubungan orangtua-anak dan hubungan saudara, baik sekandung, sebapak maupun seibu. [10]

4.      Penghalang-Penghalang Menerima Warisan [11]
1.      Pembunuhan
Dari abu hurairah R.A dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda:
“ orang yang membunuh tidak dapat memperoleh warisan.”

2.      Perbedaan Agama
Dari Usamah bin zaid R.A bahwa Nabi SAW  bersabda :
“orang islam tidak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak pula mewarisi harta orang islam.”

3.      Perbudakan
Hal ini karena seorng budak serta apa yang dimilikinya adalah kepunyaan tuan nya, maka jika kerabatnya mewarisinya niscahya warisan tersebut bagi tuan nya bukan yang lain.


C.    KESIMPULAN
waris berasal dari Bahasa Arab, yang artinya mewariskan, pusaka-pusaka dan warisan. Sedangkan menurut istilah para Ulama Fiqih, kata waris atau ilmu waris diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang ketentuan orang-orang yang diwarisi, orang-orang yang tidak mewarisi besar yang diterima oleh masing-masing ahli waris serta cara pembagiannya.
Istilah waris sudah sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia, sehingga kebanyakan masyarakat Indonesia mengartikan Ilmu Waris sebagai suatu perpindahan hak dan kewajiban serta harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup.



DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Amir syarifuddin, garis-garis besar Fiqih, kencana, jakarta,2003.
 Fatchur rahman, ilmu waris, PT Almarif, Bandung, 1971.
Abdul azim bin badawi al-khalafi, panduan fiqih lengkap, pustaka ibnu katsir, bogor, 2006.
Ahmad Rofiq, fiqh mawaris, PT Raja GrafindoPersada, Jakarta, 2002.
A.Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, PT.CitraAditya Bakti, Bandung, 1999.




[1]. Prof. Dr. Amir syarifuddin, garis-garis besar Fiqih, kencana, jakarta,2003, hal : 148. 
[2]. ibid
[3]. Drs. Fatchur rahman, ilmu waris, PT Almarif, Bandung, 1971, hal: 32.
[5]. Abdul azim bin badawi al-khalafi, panduan fiqih lengkap, pustaka ibnu katsir, bogor, 2006, hal : 149
[6]. Prof. Dr. Amir syarifuddin, garis-garis besar Fiqih, ..... Hal :152
[7]. Ibid.
[8].  Ahmad Rofiq, fiqh mawaris, PT Raja GrafindoPersada, Jakarta, 2002, hal :28
[9]. A.Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,
PT.CitraAditya Bakti, Bandung, 1999, hal.10.
[10]Ibid.
[11].  Abdul azim bin badawi al-khalafi, panduan fiqih lengkap, ..., hal:150

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS